Senin, 29 April 2013

Suara Perempuan Adalah Aurat?



Wacana seputar perempuan selalu menarik untuk dibahas, dari sisi manapun selalu ada saja celah untuk mengkaji perempuan, dari sisi fisik, psikologi, peran, intelektualitas, dan semua hal tentangnya tidak pernah habis untuk digali, dan sesuai fakta pembahasan perempuan justru lebih banyak didominasi oleh laki-laki, untuk itu karena alasan itulah penulis sebagai kaum perempuan ingin ikut terjun langsung mengkaji tentang pembahasan kaum penulis sendiri, agar tidak terjadi ketimpangan social dan peran dengan tetap memandang perempuan kaum yang rendah intelektualitasnya. Bahwa perempuan juga memiliki peran yang sangat luar biasa baik ranah domestik maupun publik.
Wanita adalah aurat, termasuk seluruh tubuhnya semua fisik yang nampak terlihat, juga mencakup di dalamnya adalah suara. Dalam (Tafsirnya al Mishbah Jilid 9 Hal 330-331), Quraish shihab mengutip pendapat al Qurthubi yang menjelaskan bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat, kecuali wajah dan kedua telapak tangan, dengan tambahan kedua kaki oleh Abu Hanifah. Dengan alasan karena wanita zaman dulu banyak yang bekerja tanpa beralas kaki dan jika itu termasuk aurat maka mereka akan banyak yang berdosa sementara kondisi dan pekerjaan menuntut mereka seperti itu.
Hadis ini berakibat pembatasan bagi kaum perempuan, jika dipahami hadis ini secara literal, maka akan muncul pemahaman bahwa jika semua yang ada dalam diri kaum perempuan adalah aurat, maka ia tak layak jika keluar rumah, ia lebih baik mengurung diri di kamar, ia tak boleh berbicara kecuali dengan keluarga, suami dan sesama perempuan saja, ia tak boleh bersosialisai dengan masyarakat apalagi jika dalam masyarakat itu ada kaum lelaki yang dimana jika ia melihatnya maka akan berdosa. Itu jika kita pahami secara literal, akan tetapi semangat hadis ini tidak bisa kita pahami sesempit itu. Pemahaman sempit seperti itu berakibat pada kita, sebagai kaum perempuan merasa terbatasi ruang geraknya sehingga menuntut ilmu dengan dosen laki-laki tidak boleh, padahal dominasi dosen universitas adalah lelaki, sehingga kita mengajar di sekolah dengan murid laki-laki juga tidak boleh, sehingga kita tidak boleh berkomunikasi dengan kaum lelaki karena suara kita adalah aurat, kalau mereka mendengar maka akan berdosa. Kalau begitu perempuan sumber dari dosa?

Stop Eksploitasi !


oleh : Immawati Azmi Rizqi
   
Rencana malam puncak perhelatan akbar  Miss World  2013 yang akan di selenggarakan pada tanggal 28 September 2013 mendatang, yang bertempat  di Sentul International Convention Center (SICC) Bogor-Jabar, menuai banyak pro dan kontra, kubu yang menolak ini beralasan  bahwa    Indonesia merupakan salah satu negaramuslim terbanyak dan tidak elok sekali di negeri yang mayoritas Islam ini dilakukan perhelatan terakhir pemilihan ratu sejagad untuk periode 2013 . Tetapi tidak sedikit pula yang merespon positif atau yang mendukung  dengan dalih “ya beginilah salah satupemberdayaan perempuan untuk modern era globalisasi ini”  yang di bungkus dengan rapi dengan bingkai emansipasi. Memang ketika kita membahas tentang emansipasi terhadap wanita maka tidak akanada habis habisnya bahkan masih menjadi diskusi yang seru untuk di bahas. Jikakita melihat ke belakang tentang  sejarahbagaimana asal muasal ajang ini lahir dan membawa misi apa perhelatan inipastinya kita sebagai masyarakat yang beretika maka akan segera menolak dengan keras ajang tersebut, tetapi sayangnya banyak orang yang tidak tahu bahkan purapura menutup mata. Dan masih banyak sebenarnya kontes kecantikan  yang lain yang semisal dengan ajang ini seperti Miss Universe dll. 

Miss World adalah kontes kecantikaninternasional yang diprakarsai oleh Eric Morley pada tahun 1951 dan pertamakali diadakan di Inggris. Pertama kali diadakan sebagai kontes bikini, tetapi kemudian oleh media disebut-sebut sebagai Miss World.  Setelah kematiannya pada tahun 2000, IstriMorley, Julia Morley, menggantikannya sebagai ketua.  

Contoh di atas merupakan salah satu contoh bentuk eksploitasi terhadap wanita. Budaya atau anggapan masyarakat sangat berperan penting dalam eksploitasi ini. Sebab  masyarakat mengukur bahwa cantik itu hanya diukur dengan mempunyai tubuh yang proporsional (masih bias) dan wajah yang rupawan saja, cantik hanya dinilai daripenampilan fisik atau luarnya saja tanpa mempertimbangkan berapa besar kemampuan otaknya. Nah, karna pandangan yang membudaya inilah yang menjadi inspirasi bagi sekelompok orang untuk menjadikan wanita sebagai objek bisnis yang menguntungkan. Buktinya di setiap iklan baik televisi maupun internet mesti yang jualan itu perempuan, jadi pandangan orang terhadap perempuan yang sedikit besar hanya sebuah pajangan mata bagi siapapun yang melihatnya. 

Eksploitasi Tubuh Perempuan ; Akar dan Solusinya




perempuan dijual layaknya sapi
Alhamdulillah, diskusi SEKIMM untuk edisi sabtu 27/2/2013 kemarin berlangsung seru dan muncul beberapa gagasan yang tidak terpikirkan sebelumnya oleh pangurus SEKIMM sebagai pengarah diskusi. Diskusi yang berlangsung sederhana di lantai dasar Masjid Kampus UMY itu mengangkat tema seputar tubuh perempuan. Isu yang berkaitan dengan tubuh perempuan memang lagi marak dibicarakan, mulai dari aksi sinting aktivis sextrimis Femen hingga rencana perhelatan Miss World 2013 di Bogor yang kontroversial itu. Namun demikian, diskusi kali ini tidak secara penuh bisa dianggap cuma reaksi  terhadap isu yang lagi hangat. Mengingat persoalan tubuh perempuan, apalagi eksploitsi adalah lagu lama yang terus beralun sepanjang sejarah dan entah kapan berakhir.

 Diskusi dimulai dari menganalisis sebuah  iklan dari  salah satu produk kecantikan yang judulnya "True Beauty Sketch", iklan tersebut seolah-olah ingin menyadarkan wanita akan "natural beauty" padahal ujung-ujungnya malah semakin memapankan anggapan bahwa perempuan  diukur melulu dari fisiknya. Hal itu (jebakan iklan) sulit dilacak kecuali dengan mamakai paradigma gender, atau mencoba memakai gender sebagai pisau pembedah iklan.  Dengan tetap memegang benang merah dari obrolan seputar iklan tersebut, selanjutnya obrolan pun berlanjut ke tema eksploitasi.

 Di dalam Stanford Encyclopedia of Philosophy, “exploitation” yang kemudian diserap menjadi “eksploitasi” dalam Bahasa Indonesia disebut sebagai istilah yang sering muncul dalam diskursus Marxis tapi kini menjadi istilah yang jamak dipakai.[1] Di dalam glosarium online istilah Marxis, ekploitasi secara sederhana diartikan sebagai pemanfaatan titik lemah satu pihak oleh pihak lain sebagai alat untuk meraih tujuannya sendiri dengan biaya (expense) dari pihak yang dimanfaatkan tersebut.[2] Pengertian yang dirumuskan Feinberg mungkin lebih mudah dipahami, eksploitasi adalah ketika A menjadikan suatu kapasitas dari B sebagai alat untuk mengeruk keuntungan.[3]  Maka eksploitasi terhadap perempuan dalam konteks diskusi ini adalah ketika pihak-pihak tertentu menjadikan tubuh perempuan (kapsitas dari B) untuk meraih keuntungan.  Eksploitasi terhadap perempuan bisa dilihat dari segi fisik, mislanya penderitaan yang menimpa para buruh perempuan yang memperoleh gaji lebih rendah dengan jam kerja yang sama dengan buruh pria. Namun eksploitasi juga bisa dilihat dari segi lain, yakni penggunaan tubuh perempuan sebagai alat untuk mendatangkan untung sebesar-besarnya.

Jumat, 19 April 2013

Pemikiran Imam al-Maraghi Tentang Relasi Gender



oleh : Huzdaifah al-Kamiriy
A.    Pendahuluan
Persoalan gender merupakan suatu wacana yang seperti tak pernah selesai dibahas, dibicarakan lagi dan lagi. Salah satu sebab 'awet'nya wacana ini adalah karena ia hampir bisa ditemukan dan dikaitkan dengan semua aspek kehidupan, semisal aspek pendidikan, kehidupan sosial-ekonomi-politik, hukum, hingga aspek-aspek teologis semisal dengan teks-teks keagamaan yang diakui sakralitasnya. Fleksibilitas wacana gender kemudian melahirkan apa yang disebut dengan pengarus-utamaan gender yang lebih dikenal dengan istilah gender mainstream
Seiring dengan itu, isu gender kemudian banyak melahirkan produk pemikiran yang berupaya mengakhiri ketertindasan dan atau subordinasi perempuan. Karya-karya tersebut umumnya terkemas dalam produk dan kadang dengan arah yang berbeda, akan tetapi berangkat dari sebuah kesadaran akan ketertindasan perempuan, kesadaran tersebut kemudian menuntun para pemikir untuk mencari tahu sebab musabab di balik terjadinya penindasan perempuan. Dari sebuah titik berangkat yang sama, mereka mengambil jalur yang berbeda. Beberapa di antara pemikir tersebut berasumsi bahwa ketertindasan perempuan disebabkan oleh konstruk sosial, beberapa yang lain 'menyalahkan' faktor terbatasnya akses informasi atau ruang gerak, sedang beberapa yang lain melihat adanya campur tangan faktor teologis di balik ketertindasan perempuan.
Kelompok yang menganggap faktor teologis sebagai salah satu penyebab ketertindasan dan subordinasi perempuan umumnya beranggapan bahwa ada yang salah dalam pembacaan teks-teks keagamaan, bukan dalam teks keagamaan sendiri. Anggapan ini kemudian menuntun mereka untuk kembali membaca teks-teks keagamaan dengan perspektif yang lebih humanis dan lebih emansipatoris.[1]
Dewasa ini agama juga dianggap sebagai biang masalah, bahkan kambing hitam atas terjadinya pelanggengan ketidakadilan gender. Hal yang sangat mengganggu misalnya tentang penggambaran bahwa Tuhan seolah-olah adalah laki-laki, penggambaran semacam ini terjadi dalam semua agama.[2]
Dalam agama Islam, wacana dan perspektif gender juga menjadi salah satu hal yang banyak diminati oleh para pemikir, mufassir, dan penggiat studi al-Qur'an. Ketertarikan tersebut hingga hari ini melahirkan banyak karya yang sedikit banyak memetakan peta-peta metodologis studi tafsir dengan perspektif gender. Dalam kerja penelitiannya, para pemikir tersebut biasanya menyoroti satu atau beberapa hal, semisal konsep penciptaan manusia, posisi perempuan diranah publik, posisi perempuan di ranah hukum, hingga posisi perempuan dalam keluarga atau sebuah lembaga pernikahan.[3]
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...