perempuan dijual layaknya sapi |
Alhamdulillah, diskusi SEKIMM untuk edisi sabtu 27/2/2013 kemarin berlangsung
seru dan muncul beberapa gagasan yang tidak terpikirkan sebelumnya oleh
pangurus SEKIMM sebagai pengarah diskusi. Diskusi yang berlangsung sederhana di lantai dasar Masjid Kampus UMY itu mengangkat tema seputar tubuh perempuan. Isu yang berkaitan dengan tubuh perempuan memang lagi marak dibicarakan, mulai dari aksi sinting aktivis sextrimis Femen hingga rencana perhelatan Miss World 2013 di Bogor yang kontroversial itu. Namun demikian, diskusi kali ini tidak secara penuh bisa dianggap cuma reaksi terhadap isu yang lagi hangat. Mengingat persoalan tubuh perempuan, apalagi eksploitsi adalah lagu lama yang terus beralun sepanjang sejarah dan entah kapan berakhir.
Diskusi dimulai dari menganalisis sebuah iklan dari salah satu produk kecantikan yang judulnya
"True Beauty Sketch", iklan tersebut seolah-olah ingin
menyadarkan wanita akan "natural beauty" padahal
ujung-ujungnya malah semakin memapankan anggapan bahwa perempuan diukur
melulu dari fisiknya. Hal itu (jebakan iklan) sulit dilacak kecuali dengan
mamakai paradigma gender, atau mencoba memakai gender sebagai pisau pembedah
iklan. Dengan tetap memegang benang
merah dari obrolan seputar iklan tersebut, selanjutnya obrolan pun berlanjut ke
tema eksploitasi.
Di dalam
Stanford Encyclopedia of Philosophy, “exploitation” yang kemudian
diserap menjadi “eksploitasi” dalam Bahasa Indonesia disebut sebagai istilah
yang sering muncul dalam diskursus Marxis tapi kini menjadi istilah yang jamak
dipakai.[1]
Di dalam glosarium online istilah Marxis, ekploitasi secara sederhana diartikan
sebagai pemanfaatan titik lemah satu pihak oleh pihak lain sebagai alat untuk
meraih tujuannya sendiri dengan biaya (expense) dari pihak yang dimanfaatkan
tersebut.[2]
Pengertian yang dirumuskan Feinberg mungkin lebih mudah dipahami, eksploitasi
adalah ketika A menjadikan suatu kapasitas dari B sebagai alat untuk mengeruk
keuntungan.[3] Maka eksploitasi terhadap perempuan dalam
konteks diskusi ini adalah ketika pihak-pihak tertentu menjadikan tubuh
perempuan (kapsitas dari B) untuk meraih keuntungan. Eksploitasi terhadap perempuan bisa dilihat
dari segi fisik, mislanya penderitaan yang menimpa para buruh perempuan yang
memperoleh gaji lebih rendah dengan jam kerja yang sama dengan buruh pria. Namun
eksploitasi juga bisa dilihat dari segi lain, yakni penggunaan tubuh perempuan
sebagai alat untuk mendatangkan untung sebesar-besarnya.
Eksploitasi terhadap perempuan dalam pengertian
kedua di atas berakar dari penilaian atas perempuan yang memakai fisik sebagai
tolak ukur ultima dan utama. Akibatnya para
pemodal memakai tubuh perempuan sebagai alat untuk melariskan dagangan sebab
masyarakat sudah terbiasa dan menganggap biasa image tubuh perempuan
yang manis dan layak jadi pemanis julalan. Mulai dari yang dibuat penuh
sleubung seperti Kontes Kecantikan, Ratu Sejagad (Miss Universe/World) sampai yg
sangat-sangat murahan seperti iklan-iklan di bilah kiri laman FB. Eksploitasi dalam kegiatan advertising dan semcamnya tidaklah
dilihat dalam suatu pemahaman sempit mengenai bagaimana proses keikutsertaan
atau keterlibatan perempuan di dalamnya. Pada banyak kasus para perempuan yang
terlibat kemungkinan besar berangkat dari keinginan/kesadaran sendiri –dan
tidak dipaksa- yang di latarbelakangi banyak faktor, misal masalah ekonomi,
ingin terkenal, jalan pintas untuk populer dan sebagainya. Namun yang dimaksud
eksploitasi disini adalah lebih pada gagasan yang dibawa oleh tayangan-tayangan
semacam itui. Yakni kesan yang menjadikan kaum perempuan secara konsisten dan
berkelanjutan ditampilkan dalam posisi yang rendah. Perempuan dianggap sebagai
mahkluk yang hanya bermodalkan daya tarik seksual semata.[4]
Jadi jika pemujaan tubuh menjadi salah satu akar eksploitasi, maka yang harus
dilakukan untuk mulai menggerusnya adalah dengan menampilkan kecantikan
perempuan dari segi yang lain. Memulai gerakan intelektual perempuan agar
perempuan “dinilai dari isi kepalanya, bukan bentuk model rambutnya” adalah
salah satunya. Di sinilah gagasan tentang hijab menjadi solusi pemuliaan
wanita, dimana wanita tidak lagi dinilai dari fisiknya yang notabenenya adalah
bentuk penilaian yang paling rendah, dan murahan, tapi wanita akan dinilai dari
moral dan intelektualnya. Jika bermuculan perempuan-perempuan yang mencerahkan
dunia dengan sumbangan intelektual mereka, maka tidak ada lagi alsan dan
kesempatan untuk memandang perempuan dari fisiknya semata. Dunia harus dibuat terbiasa menilai perempuan
dari apa yang mereka bisa lakukan, bukan dari bagaimana tampaknya mereka. Hal
tersebut hanya bisa dimulai dan dilangsungkan
oleh perempuan sendiri. Disinilah IMMawati bisa mengambil peran mereka dalam
melawan eksploitasi, jika aktivis Femen melawan eksploitasi tubuh perempuan
dengan berkampanye telanjang, maka IMMawati bisa melakukannya dengan cara yang
lebih anggun dan elegan ; menjadi cerdas mencerahkan!
Pada sesi terakhir diskusi, dari salah satu
peserta muncul sebuah pertanyaan yang agak menggelitik ; "Jika eksploitasi
tadi kita anggap berasal dari penilaian perempuan yang melulu pada keindahan
fisik, bagaimana dengan komunitas yang belakangan ini marak, hijabers,
mereka kan berjilbab, tapi mereka tetap menekankan pada kecantikan luar, apakah
masih ada unsur ekploitasinya?" Pertanyaan itu ternyata memperluas ranah diskusi
sehingga sampai membahas jilbab, hijab dan dakwah meski tidak benar-benar
mendalam. Konklusi yang kemudian muncul adalah ; "Jika seorang muslimah
yang bergabung dalam komunitas hijabers merasa gelisah akan jilbabnya
apakah sudah syar'i atau tidak, maka ia tidaklah terkesploitasi perusahaan
jilbab. Tapi jika kegelisahannya sudah melenceng, ia mulai khawatir
jangan-jangan model jilbabnya tidak lagi update, jika ia mulai
dikejar-kejar laju trend busana muslimah, maka ketika itulah ia bisa dikatakan
sudah terkeksploitasi oleh pemodal yang berjualan jilbab" Sampai disini, IMMawati bisa mengambil sikap
terhadap jenis komunitas yang satu itu. Pada satu sisi kegiatan mereka adalah
varian dakwah kreatif dan kultural untuk segmen remaja putri. Namun tetap harus
dibarengi dengan pembinaan intelektual dan penekanan pada fungsi jilbab/hijab
sebagai sarana untuk membebaskan perempuan dari pemujaan fisik yang fatal. Mereka
juga harus menjaga diri agar tidak menjadi sasaran ekplotasi industri pakaian,
sebab jika itu terjadi apa bedanya mereka dengan kontes kecantikan atau
pemilihan Ratu Sejagad?
Pada akhirnya
diskusi Sekimm sabtu ini kembali menegaskan semangat liberasi al-Qur’an. Di dalam narasi al-Qur’an sendiri, Allah ta’ala
telah memaklumkan bahwa perempuan diciptakan dengan penuh hiasan yang bisa
menimbulkan ketertarikan fisik dari lawan jenisnya.[5]
Meski menggambarkan perempuan demikian, al-Qur’an kemudian memberikan petunjuk
tentang hijab bagi mereka dan ghad al-bashr (menjaga pandangan) bagi
para pria. Tuntunan itu tidak bermaksud untuk mengekang perempuan, dan
menudingnya (dengan segala pesonanya) sebagai biang dari kerusakan moral,
melainkan untuk menekankan bahwa perempuan tidak boleh dinilai dari keindahan
fisiknya tersebut. Di dalam ayatnya yang bersifat umum mencakup feminim dan
maskulin, Al-Qur’an pun menegaskan bahwa ukuran manusia yang paling mulia
adalah ketakwaannya, manusia yang diangkat derajatnya adalah mereka yang
berilmu dan beramal saleh.[6]
Rasulullah yang agung tanpa ragu menyebut perempuan shalihah sebagai perhiasan
dunia terindah, sembari menasehatkan setiap lelaki untuk menilai perempuan
berdasarkan agamanya (lidiniha).
Ketentuan al-Qur’an di atas dapat dibaca
sebagai pembebasan bagi perempuan dari pemujaan fisik yang menjadi akar
belenggu mereka. Isyarat itulah yang
berhasil dibaca oleh Yvonne Ridley, jurnalis wanita Sunday Express yang
ditawan Taliban pada awal invasi AS ke Afhanistan dan memeluk Islam setelah ia
dibebaskan. Ia tahu persis bahwa pemujaan fisik telah menjadi alat penyiksa
paling mengerikan bagi rekan-rekannya sesama perempuan di dunia Barat. Maka ketika
ia melihat hijab dengan cara pandang tersebut, ia langsung kepincut. Dengan
bangga dan penuh kagum ia menyebut al-Qur’an sebagai “magna charta of women”
piagam pembebasan bagi perempuan. Mereka yang tidak mengerti dan tidak
mau mengerti akan jalan pikiran Ridley menyederhanakannya sebagai gajala Stockholm
Sindrome ; penyakit jiwa dimana tawanan berbalik memuja musuh yang menawannya. Padahal
merekalah yang telah ditawan oleh kepicikan dan keengganan untuk mempelajari
al-Qu’an dengan jujur dan tulus. Akibatnya, mereka tetap abadi dalam kebebasan semu bertema “my body is my
right” sembari mebetah-betahkan diri dalam eksploitasi pemodal yang kejam.
catatan tambahan :
catatan tambahan :
Mungkin perempuan-perempuan lainnya masih bisa tertolong, jika saja mereka mau menerima nilai-nilai
konsep hijab dalam kehidupan mereka meskipun tidak menerima Islam. Di sini
salah satu gagasan warisan Prof
Kuntowijoyo bisa kita gunakan sebagai solusi yakni objektifikasi. Objektifikasi
dalam pemikiran Kuntowijoyo adalah konkritisasi dari keyakinan internal menjadi
bentuk amal yang kemudian bisa dirasakan oleh orang non-Islam sebagai kegiatan
yang natural, bukan merupakan kegiatan keagamaan. Meskipun muslim/ah yang
melakukannya bisa saja menggapnya sebagai kegiatan keagamaan. Objektifikasi
hijab adalah menjadikan etika hijab (penilaian perempuan dari moral dan
intelektual, bukan fisik) sebagai sesuatu yang objektif sehingga dapat diterima
semua kalangan. Tentu saja hal ini bukanlah perkara yang mudah, perlu diskusi
yang lebih intens lagi untuk menemukan rumusan jelas dan jika mungkin
operatifnya. Pekerjaan besar ini menunggu kader-kader ikatan yang konon
berambisi menjadikan agama sebagai alat liberasi.
[1] Wertheimer, Alan and Zwolinski, Matt, "Exploitation",
The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Spring 2013 Edition), Edward N. Zalta
(ed.), URL =
<http://plato.stanford.edu/archives/spr2013/entries/exploitation/>. Diakses
29 April 2013.
[2] Encyclopedia of Marxism, “Ex-Exploitation”, http://www.marxists.org/glossary/terms/e/x.htm#exploitation.
Diakses 29 April 2013.
[3] Masih di ensiklopedia Stanford yg di atas itu lho :D
[4] Wulandari, B. Tjandra. "Perempuan dan Pornografi
Sebuah Seni Ataukah Eksploitasi." Jurnal Legality (2010). Hal 9.
[5] QS. Aali Imraan: 14
[6] QS. Al-Hujarat : 13, QS. Al-Mujaadilah : 11.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar