Senin, 29 April 2013

Eksploitasi Tubuh Perempuan ; Akar dan Solusinya




perempuan dijual layaknya sapi
Alhamdulillah, diskusi SEKIMM untuk edisi sabtu 27/2/2013 kemarin berlangsung seru dan muncul beberapa gagasan yang tidak terpikirkan sebelumnya oleh pangurus SEKIMM sebagai pengarah diskusi. Diskusi yang berlangsung sederhana di lantai dasar Masjid Kampus UMY itu mengangkat tema seputar tubuh perempuan. Isu yang berkaitan dengan tubuh perempuan memang lagi marak dibicarakan, mulai dari aksi sinting aktivis sextrimis Femen hingga rencana perhelatan Miss World 2013 di Bogor yang kontroversial itu. Namun demikian, diskusi kali ini tidak secara penuh bisa dianggap cuma reaksi  terhadap isu yang lagi hangat. Mengingat persoalan tubuh perempuan, apalagi eksploitsi adalah lagu lama yang terus beralun sepanjang sejarah dan entah kapan berakhir.

 Diskusi dimulai dari menganalisis sebuah  iklan dari  salah satu produk kecantikan yang judulnya "True Beauty Sketch", iklan tersebut seolah-olah ingin menyadarkan wanita akan "natural beauty" padahal ujung-ujungnya malah semakin memapankan anggapan bahwa perempuan  diukur melulu dari fisiknya. Hal itu (jebakan iklan) sulit dilacak kecuali dengan mamakai paradigma gender, atau mencoba memakai gender sebagai pisau pembedah iklan.  Dengan tetap memegang benang merah dari obrolan seputar iklan tersebut, selanjutnya obrolan pun berlanjut ke tema eksploitasi.

 Di dalam Stanford Encyclopedia of Philosophy, “exploitation” yang kemudian diserap menjadi “eksploitasi” dalam Bahasa Indonesia disebut sebagai istilah yang sering muncul dalam diskursus Marxis tapi kini menjadi istilah yang jamak dipakai.[1] Di dalam glosarium online istilah Marxis, ekploitasi secara sederhana diartikan sebagai pemanfaatan titik lemah satu pihak oleh pihak lain sebagai alat untuk meraih tujuannya sendiri dengan biaya (expense) dari pihak yang dimanfaatkan tersebut.[2] Pengertian yang dirumuskan Feinberg mungkin lebih mudah dipahami, eksploitasi adalah ketika A menjadikan suatu kapasitas dari B sebagai alat untuk mengeruk keuntungan.[3]  Maka eksploitasi terhadap perempuan dalam konteks diskusi ini adalah ketika pihak-pihak tertentu menjadikan tubuh perempuan (kapsitas dari B) untuk meraih keuntungan.  Eksploitasi terhadap perempuan bisa dilihat dari segi fisik, mislanya penderitaan yang menimpa para buruh perempuan yang memperoleh gaji lebih rendah dengan jam kerja yang sama dengan buruh pria. Namun eksploitasi juga bisa dilihat dari segi lain, yakni penggunaan tubuh perempuan sebagai alat untuk mendatangkan untung sebesar-besarnya.


Eksploitasi terhadap perempuan dalam pengertian kedua di atas berakar dari penilaian atas perempuan yang memakai fisik sebagai tolak ukur ultima dan utama.  Akibatnya para pemodal memakai tubuh perempuan sebagai alat untuk melariskan dagangan sebab masyarakat sudah terbiasa dan menganggap biasa image tubuh perempuan yang manis dan layak jadi pemanis julalan. Mulai dari yang dibuat penuh sleubung seperti Kontes Kecantikan, Ratu Sejagad (Miss Universe/World) sampai yg sangat-sangat murahan seperti iklan-iklan di bilah kiri laman FB.  Eksploitasi dalam kegiatan  advertising dan semcamnya tidaklah dilihat dalam suatu pemahaman sempit mengenai bagaimana proses keikutsertaan atau keterlibatan perempuan di dalamnya. Pada banyak kasus para perempuan yang terlibat kemungkinan besar berangkat dari keinginan/kesadaran sendiri –dan tidak dipaksa- yang di latarbelakangi banyak faktor, misal masalah ekonomi, ingin terkenal, jalan pintas untuk populer dan sebagainya. Namun yang dimaksud eksploitasi disini adalah lebih pada gagasan yang dibawa oleh tayangan-tayangan semacam itui. Yakni kesan yang menjadikan kaum perempuan secara konsisten dan berkelanjutan ditampilkan dalam posisi yang rendah. Perempuan dianggap sebagai mahkluk yang hanya bermodalkan daya tarik seksual semata.[4]

Jadi jika pemujaan tubuh menjadi  salah satu akar eksploitasi, maka yang harus dilakukan untuk mulai menggerusnya adalah dengan menampilkan kecantikan perempuan dari segi yang lain. Memulai gerakan intelektual perempuan agar perempuan “dinilai dari isi kepalanya, bukan bentuk model rambutnya” adalah salah satunya. Di sinilah gagasan tentang hijab menjadi solusi pemuliaan wanita, dimana wanita tidak lagi dinilai dari fisiknya yang notabenenya adalah bentuk penilaian yang paling rendah, dan murahan, tapi wanita akan dinilai dari moral dan intelektualnya. Jika bermuculan perempuan-perempuan yang mencerahkan dunia dengan sumbangan intelektual mereka, maka tidak ada lagi alsan dan kesempatan untuk memandang perempuan dari fisiknya semata.  Dunia harus dibuat terbiasa menilai perempuan dari apa yang mereka bisa lakukan, bukan dari bagaimana tampaknya mereka. Hal tersebut  hanya bisa dimulai dan dilangsungkan oleh perempuan sendiri. Disinilah IMMawati bisa mengambil peran mereka dalam melawan eksploitasi, jika aktivis Femen melawan eksploitasi tubuh perempuan dengan berkampanye telanjang, maka IMMawati bisa melakukannya dengan cara yang lebih anggun dan elegan ; menjadi cerdas mencerahkan!

Pada sesi terakhir diskusi, dari salah satu peserta muncul sebuah pertanyaan yang agak menggelitik ; "Jika eksploitasi tadi kita anggap berasal dari penilaian perempuan yang melulu pada keindahan fisik, bagaimana dengan komunitas yang belakangan ini marak, hijabers, mereka kan berjilbab, tapi mereka tetap menekankan pada kecantikan luar, apakah masih ada unsur ekploitasinya?" Pertanyaan itu ternyata memperluas ranah diskusi sehingga sampai membahas jilbab, hijab dan dakwah meski tidak benar-benar mendalam. Konklusi yang kemudian muncul adalah ; "Jika seorang muslimah yang bergabung dalam komunitas hijabers merasa gelisah akan jilbabnya apakah sudah syar'i atau tidak, maka ia tidaklah terkesploitasi perusahaan jilbab. Tapi jika kegelisahannya sudah melenceng, ia mulai khawatir jangan-jangan model jilbabnya tidak lagi update, jika ia mulai dikejar-kejar laju trend busana muslimah, maka ketika itulah ia bisa dikatakan sudah terkeksploitasi oleh pemodal yang berjualan jilbab"  Sampai disini, IMMawati bisa mengambil sikap terhadap jenis komunitas yang satu itu. Pada satu sisi kegiatan mereka adalah varian dakwah kreatif dan kultural untuk segmen remaja putri. Namun tetap harus dibarengi dengan pembinaan intelektual dan penekanan pada fungsi jilbab/hijab sebagai sarana untuk membebaskan perempuan dari pemujaan fisik yang fatal. Mereka juga harus menjaga diri agar tidak menjadi sasaran ekplotasi industri pakaian, sebab jika itu terjadi apa bedanya mereka dengan kontes kecantikan atau pemilihan Ratu Sejagad? 

 Pada akhirnya diskusi Sekimm sabtu ini kembali menegaskan semangat liberasi al-Qur’an.  Di dalam narasi al-Qur’an sendiri, Allah ta’ala telah memaklumkan bahwa perempuan diciptakan dengan penuh hiasan yang bisa menimbulkan ketertarikan fisik dari lawan jenisnya.[5] Meski menggambarkan perempuan demikian, al-Qur’an kemudian memberikan petunjuk tentang hijab bagi mereka dan ghad al-bashr (menjaga pandangan) bagi para pria. Tuntunan itu tidak bermaksud untuk mengekang perempuan, dan menudingnya (dengan segala pesonanya) sebagai biang dari kerusakan moral, melainkan untuk menekankan bahwa perempuan tidak boleh dinilai dari keindahan fisiknya tersebut. Di dalam ayatnya yang bersifat umum mencakup feminim dan maskulin, Al-Qur’an pun menegaskan bahwa ukuran manusia yang paling mulia adalah ketakwaannya, manusia yang diangkat derajatnya adalah mereka yang berilmu dan beramal saleh.[6] Rasulullah yang agung tanpa ragu menyebut perempuan shalihah sebagai perhiasan dunia terindah, sembari menasehatkan setiap lelaki untuk menilai perempuan berdasarkan agamanya (lidiniha). 

Ketentuan al-Qur’an di atas dapat dibaca sebagai pembebasan bagi perempuan dari pemujaan fisik yang menjadi akar belenggu mereka.  Isyarat itulah yang berhasil dibaca oleh Yvonne Ridley, jurnalis wanita Sunday Express yang ditawan Taliban pada awal invasi AS ke Afhanistan dan memeluk Islam setelah ia dibebaskan. Ia tahu persis bahwa pemujaan fisik telah menjadi alat penyiksa paling mengerikan bagi rekan-rekannya sesama perempuan di dunia Barat. Maka ketika ia melihat hijab dengan cara pandang tersebut, ia langsung kepincut. Dengan bangga dan penuh kagum ia menyebut al-Qur’an sebagai “magna charta of women” piagam pembebasan bagi perempuan. Mereka yang tidak mengerti dan tidak mau mengerti akan jalan pikiran Ridley menyederhanakannya sebagai gajala Stockholm Sindrome ; penyakit jiwa dimana tawanan berbalik memuja musuh yang menawannya. Padahal merekalah yang telah ditawan oleh kepicikan dan keengganan untuk mempelajari al-Qu’an dengan jujur dan tulus. Akibatnya, mereka tetap abadi  dalam kebebasan semu bertema “my body is my right” sembari mebetah-betahkan diri dalam eksploitasi pemodal yang kejam. 

catatan tambahan :

Mungkin perempuan-perempuan lainnya masih bisa tertolong,  jika saja mereka mau menerima nilai-nilai konsep hijab dalam kehidupan mereka meskipun tidak menerima Islam. Di sini salah satu gagasan warisan  Prof Kuntowijoyo bisa kita gunakan sebagai solusi yakni objektifikasi. Objektifikasi dalam pemikiran Kuntowijoyo adalah konkritisasi dari keyakinan internal menjadi bentuk amal yang kemudian bisa dirasakan oleh orang non-Islam sebagai kegiatan yang natural, bukan merupakan kegiatan keagamaan. Meskipun muslim/ah yang melakukannya bisa saja menggapnya sebagai kegiatan keagamaan. Objektifikasi hijab adalah menjadikan etika hijab (penilaian perempuan dari moral dan intelektual, bukan fisik) sebagai sesuatu yang objektif sehingga dapat diterima semua kalangan. Tentu saja hal ini bukanlah perkara yang mudah, perlu diskusi yang lebih intens lagi untuk menemukan rumusan jelas dan jika mungkin operatifnya. Pekerjaan besar ini menunggu kader-kader ikatan yang konon berambisi menjadikan agama sebagai alat liberasi.  

[1] Wertheimer, Alan and Zwolinski, Matt, "Exploitation", The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Spring 2013 Edition), Edward N. Zalta (ed.), URL = <http://plato.stanford.edu/archives/spr2013/entries/exploitation/>. Diakses 29 April 2013.
[2] Encyclopedia of Marxism, “Ex-Exploitation”, http://www.marxists.org/glossary/terms/e/x.htm#exploitation. Diakses 29 April 2013.
[3] Masih di ensiklopedia Stanford yg di atas itu lho :D
[4] Wulandari, B. Tjandra. "Perempuan dan Pornografi Sebuah Seni Ataukah Eksploitasi." Jurnal Legality (2010). Hal 9.
[5] QS. Aali Imraan: 14
[6] QS. Al-Hujarat : 13, QS. Al-Mujaadilah : 11. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...