Senin, 29 April 2013

Suara Perempuan Adalah Aurat?



Wacana seputar perempuan selalu menarik untuk dibahas, dari sisi manapun selalu ada saja celah untuk mengkaji perempuan, dari sisi fisik, psikologi, peran, intelektualitas, dan semua hal tentangnya tidak pernah habis untuk digali, dan sesuai fakta pembahasan perempuan justru lebih banyak didominasi oleh laki-laki, untuk itu karena alasan itulah penulis sebagai kaum perempuan ingin ikut terjun langsung mengkaji tentang pembahasan kaum penulis sendiri, agar tidak terjadi ketimpangan social dan peran dengan tetap memandang perempuan kaum yang rendah intelektualitasnya. Bahwa perempuan juga memiliki peran yang sangat luar biasa baik ranah domestik maupun publik.
Wanita adalah aurat, termasuk seluruh tubuhnya semua fisik yang nampak terlihat, juga mencakup di dalamnya adalah suara. Dalam (Tafsirnya al Mishbah Jilid 9 Hal 330-331), Quraish shihab mengutip pendapat al Qurthubi yang menjelaskan bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat, kecuali wajah dan kedua telapak tangan, dengan tambahan kedua kaki oleh Abu Hanifah. Dengan alasan karena wanita zaman dulu banyak yang bekerja tanpa beralas kaki dan jika itu termasuk aurat maka mereka akan banyak yang berdosa sementara kondisi dan pekerjaan menuntut mereka seperti itu.
Hadis ini berakibat pembatasan bagi kaum perempuan, jika dipahami hadis ini secara literal, maka akan muncul pemahaman bahwa jika semua yang ada dalam diri kaum perempuan adalah aurat, maka ia tak layak jika keluar rumah, ia lebih baik mengurung diri di kamar, ia tak boleh berbicara kecuali dengan keluarga, suami dan sesama perempuan saja, ia tak boleh bersosialisai dengan masyarakat apalagi jika dalam masyarakat itu ada kaum lelaki yang dimana jika ia melihatnya maka akan berdosa. Itu jika kita pahami secara literal, akan tetapi semangat hadis ini tidak bisa kita pahami sesempit itu. Pemahaman sempit seperti itu berakibat pada kita, sebagai kaum perempuan merasa terbatasi ruang geraknya sehingga menuntut ilmu dengan dosen laki-laki tidak boleh, padahal dominasi dosen universitas adalah lelaki, sehingga kita mengajar di sekolah dengan murid laki-laki juga tidak boleh, sehingga kita tidak boleh berkomunikasi dengan kaum lelaki karena suara kita adalah aurat, kalau mereka mendengar maka akan berdosa. Kalau begitu perempuan sumber dari dosa?

Ironis sekali jika kita memahami teks hadis dengan pemaknaan demikian, Untuk itu, kita harus meneliti ulang bagaimana status hadis tersebut, bagaimana keadaan sanad dan matannya, lalu seperti apa asbabul wurud hadis tersebut sehingga Nabi bisa mengatakan seperti itu, bagaimana pendapat para ulama menanggapi hadis tersebut, setelah itu baru bisa kita pahami secara komprehensif makna dan semangat hadis tersebut.
Hadis wanita adalah aurat
Adapun bunyi hadisnya adalah :
الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتْ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ
Wanita adalah aurat, jika dia keluar maka syetan akan mengawasinya. (HR. Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah)
Hadis lengkapnya berbunyi
حدثنا محمد بن بشار حدثنا عمرو بن عاصم حدثنا همام عن قتادة عن مورق عن أبي أحوص عن عبد الله : عن النبي صلى الله عليه و سلم قال المرأة عورة فإذا خرجت استشرفها الشيطان
Dari hasil pencarian penulis dari kitab-kitab hadis yang ada, hasil yang diperoleh adalah bahwa hadis ini hanya diriwayatkan oleh dua mukharij yaitu Tirmidzi dalam ( Kitab Sunan Tirmidzi No Hadis 1173 juz 3 Hal 47dan Ibnu Khuzaimah dalam kitabnya No Hadis 1685 dan 1686, Juz 3 Hal 93).
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, ada tujuh perawi yang menyampaikan hadis ini dengan metode yang berbeda, ada yang menggunakan lafadz “Haddasana”, dan ada yang menggunakan lafadz “An” yang disebut hadis Mu’an’an. Dalam riwayat Tirmidzi, ada satu orang rawi yang dimana ketika ia meriwayatkan hadis adakalanya wahm, dan hadis ini pun hanya memiliki satu penguat yaitu riwayat sahih ibnu khuzaimah.
Ketika kita memahami hadis, salah satunya adalah dengan meneliti sanad dan matan, ketika dalam sanad sudah ditemukan bagaimana perawi dan seperti apa kredibilitasnya, kemudian kita merujuk pada matan, dalam penelitian matan salah satu syaratnya adalah tidak boleh bertentangan dengan ayat al Qur’an, sementara hadis ini bertentangan dengan ayat al Qur’an yang menceritakan kisah tentang dialog Nabi Musa dengan dua wanita kakak beradik, yakni putri Nabi Syu’aib, FirmanNya :
وَلَمَّا وَرَدَ مَاءَ مَدْيَنَ وَجَدَ عَلَيْهِ أُمَّةً مِنَ النَّاسِ يَسْقُونَ وَوَجَدَ مِنْ دُونِهِمُ امْرَأَتَيْنِ تَذُودَانِ قَالَ مَا خَطْبُكُمَا قَالَتَا لَا نَسْقِي حَتَّى يُصْدِرَ الرِّعَاءُ وَأَبُونَا شَيْخٌ كَبِيرٌ
Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Mad-yan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia men- jumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: "Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?" Kedua wanita itu menjawab: "Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya." (Al Qashash : 23)
Dan disambung diayat selanjutnya :
فَجَاءَتْهُ إِحْدَاهُمَا تَمْشِي عَلَى اسْتِحْيَاءٍ قَالَتْ إِنَّ أَبِي يَدْعُوكَ لِيَجْزِيَكَ أَجْرَ مَا سَقَيْتَ لَنَا فَلَمَّا جَاءَهُ وَقَصَّ عَلَيْهِ الْقَصَصَ قَالَ لَا تَخَفْ نَجَوْتَ مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
“Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan, ia berkata: "Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberikan balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami". Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya (Syu'aib) dan menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya), Syu'aib berkata: "Janganlah kamu takut. kamu telah selamat dari orang-orang yang zalim itu." (Al-Qashash: 25).
Kemudian, syarat yang kedua tidak boleh bertentangan dengan hadis yang sahih. Sedangkan dalam hadis berikut ini menceritakan tentang dialog Nabi dengan seorang perempuan.
أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ، جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: إِنَّ أُمِّي نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ فَلَمْ تَحُجَّ حَتَّى مَاتَتْ، أَفَأَحُجُّ عَنْهَا؟ قَالَ: «نَعَمْ حُجِّي عَنْهَا، أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَةً؟ اقْضُوا اللَّهَ فَاللَّهُ أَحَقُّ بِالوَفَاءِ
Dari Ibnu Abbas bahwa ada seorang wanita dari Juhainah datang kepada Rasulullah , lalu berkata : “Sesungguhnya ibuku telah bernadzar untuk pergi haji, tetapi dia meninggal sebelum berangkat haji, apakah saya bisa berhaji atas nama ibu saya?” Beliau bersabda: “Ya, berhajilah untuknya, apa pendapatmu jika ibumu punya hutang? Bayarlah hutang kepada Allah, sebab hutang kepada Allah lebih layak untuk ditunaikan.” (HR. Bukhari No : 1852)
Pendapat ulama tentang hadis wanita adalah aurat
Mengenai hadis ini ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama ada yang menyatakan bahwa suara wanita adalah aurat. Namun, menurut pendapat jumhur (mayoritas) ulama, suara wanita bukanlah aurat. Sehingga siapapun boleh saja mendengar suara seorang wanita atau mendengarnya berbicara, karena tidaklah termasuk hal yang terlarang dalam Islam. Ini adalah pendapat yang paling kuat dalam masalah ini.
Syaikh Wahbah Zuhaili dalam kitabnya (Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 1/647, Darr al Fikr ) berkata : Suara wanita menurut jumhur (mayoritas ulama) bukanlah aurat, karena para sahabat Nabi mendengarkan suara para isteri Nabi Saw untuk mempelajari hukum-hukum agama, tetapi diharamkan mendengarkan suara wanita  yang  disuarakan dengan melagukan dan mengeraskannya, walaupun dalam membaca Al Quran, dengan sebab khawatir timbul fitnah. Pandangan yang sama disampaikan cendekiawan Muslim Yusuf al-Qaradhawi melalui bukunya (Fatwa-Fatwa Kontemporer Jilid 2 hal 99-100.). Menurut dia, Allah SWT mengizinkan para laki-laki bertanya kepada istri-istri Muhammad.
      Tak hanya menyampaikan fatwa, mereka pun meriwayatkan hadis. Banyak fakta bertebaran mengenai persoalan ini. Suatu ketika, Rasul mengizinkan seorang perempuan menyampaikan pertanyaan, padahal di hadapannya banyak laki-laki. Seorang perempuan juga pernah menyanggah pendapat Umar bin Khattab saat berpidato di atas mimbar.
      Ia tak mengingkari kebenaran argumen perempuan itu. Dengan kerendahan hati, Umar pun berucap, "Semua orang bisa lebih mengerti dibandingkan Umar," ujarnya.
      Alquran pun menceritakan putri Nabi Syu
aib yang melakukan pembicaraan dengan Nabi Musa. Demikian pula percakapan Nabi Sulaiman dengan Ratu Saba.
      Menurut al-Qaradhawi, Allah
hanya melarang khudu, yaitu cara berbicara yang dapat membangkitkan nafsu orang-orang yang hatinya kotor. Namun, bukan berarti Allah melarang semua pembicaraan perempuan dengan laki-laki. Tentu, pembicaraan itu berisi perkataan-perkataan yang baik.
Dalil yang menunjukkan bahwa suara wanita bukanlah aurat sangatlah banyak, diantaranya adalah sebagai berikut :
A.   Dalil Al Qur’an
Berikut ini diantara ayat al Qur’an yang menyebutkan secara tersurat maupun tersirat bahwa suara wanita itu bukanlah aurat.
1. Allah memerintahkan para istri Rasulullah  agar berkata-kata, namun dengan perkataan dan cara yang baik. Dan tentunya perkataan istri Nabi itu akan di dengar bukan saja oleh para shahabiyah tetapi juga para shahabat . FirmanNya :
يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا
“Wahai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (Al-Ahzab: 32)
Meskipun konteks ayat diatas membicarakan para ummahatul mukminin, tetapi sudah maklum dan ma’fum dipahami, hukum ayat ini tentunya berlaku untuk semua kaum muslimah.
2. Allah menceritakan wanita yang menggugat kepada Nabi tentang dzihar yang dilakukan suami wanita tersebut. FirmanNya :
قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ
“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar  hiwar (dialog)  antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. ( Al Mujadilah : 1)
Dan tentu saja pengaduan wanita tersebut kepada Nabi mengunakan kata-kata, bukan dengan bahasa isyarat. Dan mustahil Rasulullah akan mau mendengar suara wanita tersebut bila hal tersebut adalah aurat.
3. Dalam al Qur’an terdapat kisah tentang dialog Nabi Musa dengan dua wanita kakak beradik, yakni putri Nabi Syu’aib, FirmanNya :
وَلَمَّا وَرَدَ مَاءَ مَدْيَنَ وَجَدَ عَلَيْهِ أُمَّةً مِنَ النَّاسِ يَسْقُونَ وَوَجَدَ مِنْ دُونِهِمُ امْرَأَتَيْنِ تَذُودَانِ قَالَ مَا خَطْبُكُمَا قَالَتَا لَا نَسْقِي حَتَّى يُصْدِرَ الرِّعَاءُ وَأَبُونَا شَيْخٌ كَبِيرٌ
Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Mad-yan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia men- jumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: "Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?" Kedua wanita itu menjawab: "Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya." (Al Qashash : 23)
Dan disambung diayat selanjutnya :
فَجَاءَتْهُ إِحْدَاهُمَا تَمْشِي عَلَى اسْتِحْيَاءٍ قَالَتْ إِنَّ أَبِي يَدْعُوكَ لِيَجْزِيَكَ أَجْرَ مَا سَقَيْتَ لَنَا فَلَمَّا جَاءَهُ وَقَصَّ عَلَيْهِ الْقَصَصَ قَالَ لَا تَخَفْ نَجَوْتَ مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
“Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan, ia berkata: "Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberikan balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami". Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya (Syu'aib) dan menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya), Syu'aib berkata: "Janganlah kamu takut. kamu telah selamat dari orang-orang yang zalim itu." (Al-Qashash: 25).
Demikian dalil-dalil kitabullah yang menjelaskan bahwa suara wanita bukanlah aurat, kemudian dipertegas kembali oleh dalil-dalil yang lain seperti para wanita berhak dan berwenang melakukan aktivitas jual beli (QS. Al-Baqarah: 275; QS. An-Nisa’:29), berhutang-piutang (QS. Al-Baqarah: 282), sewa-menyewa (ijarah) (QS. Al-Baqarah: 233; QS. Ath-Thalaq: 6), memberikan persaksian (QS. Al-Baqarah: 282), menggadaikan barang (rahn) (QS. Al-Baqarah: 283), menyampaikan ceramah (QS.  An-Nahl: 125; QS. As-Sajdah: 33), meminta fatwa (QS. An-Nahl: 43), dan sebagainya. yang kesemuanya itu hampir mustahil tidak menggunakan aktivitas suara/ berbicara.
B.   Hadits Nabi dan Atsar para shahabat
1. Shahabiyah (shahabat wanita) mereka berbicara dengan Rasulullah.
Banyak hadits yang menceritakan bahwa para shahabat wanita dahulu juga bertanya kepada Rasulullah bahkan ketika Nabi sedang berada di tengah-tengah para sahabat laki-laki. Diantaranya adalah apa yang disebutkan dalam sebuah hadits berikut ini :
أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ، جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: إِنَّ أُمِّي نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ فَلَمْ تَحُجَّ حَتَّى مَاتَتْ، أَفَأَحُجُّ عَنْهَا؟ قَالَ: «نَعَمْ حُجِّي عَنْهَا، أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَةً؟ اقْضُوا اللَّهَ فَاللَّهُ أَحَقُّ بِالوَفَاءِ
Dari Ibnu Abbas bahwa ada seorang wanita dari Juhainah datang kepada Rasulullah , lalu berkata : “Sesungguhnya ibuku telah bernadzar untuk pergi haji, tetapi dia meninggal sebelum berangkat haji, apakah saya bisa berhaji atas nama ibu saya?” Beliau bersabda: “Ya, berhajilah untuknya, apa pendapatmu jika ibumu punya hutang? Bayarlah hutang kepada Allah, sebab hutang kepada Allah lebih layak untuk ditunaikan.” (HR. Bukhari No : 1852)
2. Para Shahabat mendatangi ummul mukminin untuk bertanya hukum agama.
Dan para sahabat sendiri juga pernah pergi kepada ummahatul mukminin (para isteri Rasulullah) untuk meminta fatwa dan mereka pun memberikan fatwa dan berbicara dengan orang-orang yang datang. Dan tidak ada seorang pun mengatakan, “Sesungguhnya ini dari Aisyah atau selain Aisyah telah melihat aurat yang wajib ditutupi,” padahal isteri-isteri Nabi mendapat perintah dengan keras yang tidak pernah dirasakan bagi wanita lainnya.
Musa bin Thalhah ra. berkata :                                                  
مَا رَأَيْتُ أَحَدًا أَفْصَحَ مِنْ عَائِشَةَ
“Aku tidak pernah melihat seorang pun yang lebih fasih bicaranya daripada Aisyah.” (HR. Tirmidzi)
Ø  Pendapat ulama mazhab
Berikut perkataan para ulama dan yang termaktub dalam kitab-kitab mu’tabarah yang menjelaskan tentang hukum suara wanita :
-      Hanafiyah
Ada sebagian riwayat yang mengatakan bahwa Abu Hanifah berpendapat suara wanita adalah aurat. Namun, menurut khabar yang kuat adalah bahwa kalangan Hanafiyah menyatakan suara wanita bukan aurat.
-      Malikiyah dan Hanabilah
Dalam kitab al Mausu’ah Fiqihiyah al Kuwaitiyah juz 4 halaman 91 dapat disimpulkan tentang pandangan kedua mazhab ini bahwa suara wanita bukanlah aurat. Yaitu ketika mereka berpendapat dibencinya mendengarkan nyanyian wanita.
-      Syafi’iyah
 Diketahui secara pasti pendapat dari mazhab ini, bahwa suara wanita bukanlah aurat. Dan bahkan menurut syafi’iyah, boleh mendengarkan suara wanita menyanyi dengan catatan aman dari fitnah.
Kalangan Yang Mengatakan Bahwa Suara Wanita Aurat
Namun, sebuah fakta yang tidak bisa kita pungkiri, bahwa ada sebagian ulama yang memang berpendapat bahwa suara wanita adalah aurat. Pendapat mereka ini didasarkan kepada beberapa dalil diantaranya :
1.    Hadits Rasulullah Saw, beliau bersabda :
الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتْ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ
Wanita adalah aurat, jika dia keluar maka syetan akan mengawasinya. (HR. Tirmidzi, dan Ibnu Khuzaimah )
Berdasarkan makna dzahir hadits ini, kalangan ini  menyimpulkan bahwa semua bagian dari wanita adalah aurat termasuk suaranya.
Dalam Ilmu fiqih tidak asing lagi diketahui adanya dalil yang bersifat ‘aam (umum) dan dalil khosh (khusus).  Jadi sebuah dalil terkadang bermakna mujmal (global) tetapi ada pula yang muqayad (terbatasi). Contohnya firman Allah Swt dalam surat al-Maidah ayat 3 yang menjelaskan keharaman semua bangkai, tetapi kemudian dikhususkan bangkai binatang laut darinya, dalil takhsisnya adalah sabda Nabi : “Dihalalkan bagi kami dua bangkai…. Yaitu (bangkai) ikan dan belalang.”
Oleh karena itu para ahli ushul membuat kaidah, Hamlul Muthlaq ilal Muqayyad (Memahami dalil yang umum harus dibatasi oleh yang khusus).
Hadits diatas adalah hadits umum yang menginformasikan secara umum bahwa tubuh wanita adalah aurat, yang kemudian ditakhsis (dibatasi) dengan hadits-hadits yang menunjukkan bahwa wajah, telapak tangan dan termasuk suara adalah yang dikecualikan.
2.    Firman Allah ta’ala :
وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ
 “Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. (An Nuur : 31)
Menurut kalangan ini, jika gelang kaki wanita saja dilarang untuk digetarkan sehingga terdengar suaranya, maka suara wanita lebih layak dilarang karena lebih merdu dibanding suara gelang.
Namun dalil ini dibantah oleh para ulama, dan nampak dalil dengan ayat ini tidaklah tepat. Karena yang dilarang dari seorang wanita pada ayat diatas adalah pada perbuatannya yang memamerkan perhiasannya. Jika dikiaskan dengan suara wanita tentu tidak tepat, karena suara manusia itu termasuk kebutuhan yang sangat penting, keharaman barulah ada apabila mempergunakannya untuk merayu dan mengundang syahwat.
3.    Cara menegur imam bagi makmum yang tidak menggunakan suara.
Dalil lainnya yang digunakan adalah dengan adanya ketentuan bagi makmum wanita yang menegur imam yang keliru, yaitu hanya diperbolehkan menggunakan tepukan tangan. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits ketika Rasulullah  ditanya tentang cara menegur imam yang keliru, beliau menjawab :
مَنْ نَابَهُ شَىْءٌ فِى صَلاَتِهِ فَلْيُسَبِّحْ فَإِنَّهُ إِذَا سَبَّحَ الْتُفِتَ إِلَيْهِ وَإِنَّمَا التَّصْفِيحُ لِلنِّسَاءِ
Barangsiapa menjadi makmum lalu merasa ada kekeliruan dalam shalat, hendaklah dia membaca tasbih. Karena jika dibacakan tasbih, dia (imam) akan memperhatikannya. Sedangkan tepukan khusus untuk wanita.” (HR. Bukhari No. 7190 dan Muslim No. 421)
Logikanya, jika bukan aurat, tentunya kaum wanita pun juga sama dengan laki-laki, yakni diperbolehkan menggunakan suaranya mengucap subhanallah.
Namun, alasan ini juga lemah dan penakwilan yang berlebihan, sebab apa yang wanita lakukan dengan bertepuk tangan ketika meluruskan kekeliruan imam, itu adalah sebuah aturan baku yang ada dalam shalat yang sifatnya ta’abudiyah, yang tidak ada kaitannya dengan aurat atau bukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...