Jumat, 19 April 2013

Pemikiran Imam al-Maraghi Tentang Relasi Gender



oleh : Huzdaifah al-Kamiriy
A.    Pendahuluan
Persoalan gender merupakan suatu wacana yang seperti tak pernah selesai dibahas, dibicarakan lagi dan lagi. Salah satu sebab 'awet'nya wacana ini adalah karena ia hampir bisa ditemukan dan dikaitkan dengan semua aspek kehidupan, semisal aspek pendidikan, kehidupan sosial-ekonomi-politik, hukum, hingga aspek-aspek teologis semisal dengan teks-teks keagamaan yang diakui sakralitasnya. Fleksibilitas wacana gender kemudian melahirkan apa yang disebut dengan pengarus-utamaan gender yang lebih dikenal dengan istilah gender mainstream
Seiring dengan itu, isu gender kemudian banyak melahirkan produk pemikiran yang berupaya mengakhiri ketertindasan dan atau subordinasi perempuan. Karya-karya tersebut umumnya terkemas dalam produk dan kadang dengan arah yang berbeda, akan tetapi berangkat dari sebuah kesadaran akan ketertindasan perempuan, kesadaran tersebut kemudian menuntun para pemikir untuk mencari tahu sebab musabab di balik terjadinya penindasan perempuan. Dari sebuah titik berangkat yang sama, mereka mengambil jalur yang berbeda. Beberapa di antara pemikir tersebut berasumsi bahwa ketertindasan perempuan disebabkan oleh konstruk sosial, beberapa yang lain 'menyalahkan' faktor terbatasnya akses informasi atau ruang gerak, sedang beberapa yang lain melihat adanya campur tangan faktor teologis di balik ketertindasan perempuan.
Kelompok yang menganggap faktor teologis sebagai salah satu penyebab ketertindasan dan subordinasi perempuan umumnya beranggapan bahwa ada yang salah dalam pembacaan teks-teks keagamaan, bukan dalam teks keagamaan sendiri. Anggapan ini kemudian menuntun mereka untuk kembali membaca teks-teks keagamaan dengan perspektif yang lebih humanis dan lebih emansipatoris.[1]
Dewasa ini agama juga dianggap sebagai biang masalah, bahkan kambing hitam atas terjadinya pelanggengan ketidakadilan gender. Hal yang sangat mengganggu misalnya tentang penggambaran bahwa Tuhan seolah-olah adalah laki-laki, penggambaran semacam ini terjadi dalam semua agama.[2]
Dalam agama Islam, wacana dan perspektif gender juga menjadi salah satu hal yang banyak diminati oleh para pemikir, mufassir, dan penggiat studi al-Qur'an. Ketertarikan tersebut hingga hari ini melahirkan banyak karya yang sedikit banyak memetakan peta-peta metodologis studi tafsir dengan perspektif gender. Dalam kerja penelitiannya, para pemikir tersebut biasanya menyoroti satu atau beberapa hal, semisal konsep penciptaan manusia, posisi perempuan diranah publik, posisi perempuan di ranah hukum, hingga posisi perempuan dalam keluarga atau sebuah lembaga pernikahan.[3]
Dengan adanya permasalahan di atas, kami -dengan makalah ini- akan menjelaskan mengenai pandangan al-Marāgī seorang mufassir abad modern, terhadap permsalahan gender, di tilik dari ayat-ayat al-Quran yang cenderung bias gender. Dengan adanya pembacaan pada teks-teks al-Quran yang cenderung bias gender, kami akan menyuguhkan beberapa pokok dari pemikiran al-Marāgī mengenai hal tersebut.
B.     Biografi al-Marāgī
Nama lengkap beliau adalah Aḥmad Musṭafā ibn Muḥammad ibn 'Abd al-Mun'im al-Qāḍī al-Marāgī,[4] dilahirkan di kota al-Marāg propinsi Suhaj pada tahun 1300 H/1883 M.[5] Aḥmad Musṭafā al-Marāgī berasal dari keluarga yang intelek dan menguasai berbagai macam ilmu agama Islam,[6] di samping itu, keluarga al-Marāgī juga dikenal sebagai usrah al-Qāḍī karena empat orang putranya menjadi hakim.[7]
Sebagai anak yang hidup dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga ulama yang intelek, al-Marāgī pertama belajar al-Quran dan agama Islam dari orang tuanya, sehingga sebelum mencapai umur 13 tahun, ia sudah hafal al-Quran. Setelah mencapai usia sekolah, al-Marāgī melanjutkan belajarnya di madrasah yang ada di kotanya untuk mempelajari al-Quran, ilmu tajwid, dan dasar-dasar ilmu sejarah sampai tamat pendidikan tingkat menengah.
Setelah menyelesaikan pendidikan tingkat menengah, pada tahun 1314 H/1897 M, al-Marāgī melanjutkan pendidikannya ke Universitas al-Azhar Kairo, untuk mempelajari berbagai cabang ilmu pengetahuan seperti; Bahasa Arab, tafsir, ulum al-Quran, hadis, fikih, usul fikih, balagah, ilmu falak, dan lain sebagainya. Di al-Azhar al-Marāgī tidak sempat menyelesaikan kuliahnya, karena begitu hampir selesai ia pindah ke Dār al-'Ulūm dan selesai pada tahun 1326H/1909 M. Di antara tokoh-tokoh yang menjadi dosen beliau pada waktu itu adalah: Muhammad 'Abduh, Muhammad bakhit al-Mufi'i, Ahmad Rifa'i al-Fayumi dan Husain al-'Adawi. Dari mereka itulah al-Marāgī mempelajari berbagai cabang ilmu pengetahuan Islam, sehingga mampu menjadikan sebagai salah seorang ulama yang produktif dalam menulis.
Kitab Tafsir al-Marāgī merupakan kitab yang paling terkenal di antara kitab-kitab yang ditulis oleh al-Marāgī. Kitab ini sebagaimana dijelaskan oleh pengarangnya dalam muqaddimah, bahwa Tafsir al-Marāgī terdiri atas 30 juz, dan dicetak dalam 10 jilid.[8] Dan kitab ini  diselesaikan dalam kurun waktu tahun 1940-an dan berakhir pada Bulan Zulhijah 1365H/1948 M., di Kota Hilwan Kairo Mesir.[9] Penulisan Tafsir al-Marāgī dilatar belakangi oleh banyaknya pertanyaaan yang dilontarkan kepada al-Marāgī, mengenai kitab tafsir apakah yang paling singkat. Masalahnya meskipun pada saat itu banyak kitab-kitab tafsir yang cukup bermanfaat, karena mengungkap berbagai persoalan-persoalan agama, fikih, usul fikih, tauhid dan ilmu-ilmu lainnya, tetapi ternyata semua itu justru semakin mempersulit dalam memahami al-Quran.[10] Dari persoalan  tersebut, al-Marāgī merasa terpanggil untuk menulis sebuah kitab tafsir yang sistematis, mudah dipahami dalam waktu singkat, dan menggunakan bahasa yang sederhana dan efektif.
Kitab Tafsir al-Marāgī menggunakan metode taḥlīlī, dan dari segi orientasi pembahasan dan bahasa yang digunakan dapat di katakana bahwa Tafsir al-Marāgī adalah kitab tafsir yang menggunakan corak adabi ijtima'i. metode taḥlīlī al-Marāgī adalah metode yang didasarkan pada gabungan antara bi al-ma'ṡūr dan bi al-ra'yi. Menurutnya zaman ini tidak mungkin menafsirkan al-Quran hanya dengan bi al-ma'ṡur saja. Sebab, riwayat terbatas pada nas-nasnya, sedang kasus-kasus yang memerlukan ketentuan-ketentuan tafsir semakin banyak seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan modern yang sangat cepat. [11]
Sedangkan sumber Tafsir al-Marāgī sebagai mana dikatakan aż-Żahabī dalam at-Tafsīr al-Mufassirūn bahwa: al-Marāgī dalam menafsirkan ayat al-Quran berdasarkan ayat-ayat al-Quran yang memiliki tema yang sama, ia juga bersandar pada hadis Rasul saw, penjelasan salafussalih dari para sahabat dan tabi'in dan juga mengikuti aturan-aturan kebahasaan serta sunnatullah yang ada di alam ini, kemudian berdasarkan para mufasir pendahulunya. Ia juga menggunakan akalnya dan meletakkan semua sumber-sumber di atas dengan pertimbangan akal pemikirannya.[12]
C.     Pengertian Gender
Kata "Gender" secara etimologi berasal dari bahasa inggris, gender, berarti jenis kelamin. Gender adalah suatu konsep tentang klasifikasi sifat laki-laki (maskulin) dan perempuan (feminin) yang dibentuk secara sosio-kultural.[13] Dalam Webster's New World Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku.[14]
Di dalam Women's Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep cultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang di masyarakat. Hilary M. Lips dalam bukunya yang terkenal Sex And Gender: An Introduction mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan. Pendapat ini sejalan dengan pendapat pada umumnya kaum feminis, yaitu What A Given Society Defines As Masculine Or Feminine Is A Component of Gender 'semua ketetapan masyarakat, perihal penentuan seseorang sebagai bersifat kelaki-lakian (maskulin) atau keperempuanan (feminin) adalah termasuk bidang kajian gender'.[15]
H.T. Wilson dalam Sex And Gender mengartikan gender sebagai suatu dasar untuk menentukan perbedaan sumbangan laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan kehidupan kolektif yang sebagai akibatnya mereka menjadi perempuan dan laki-laki. Elaine Showalter mengartikan gender lebih dari sekedar pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial budaya. Ia menekankan sebagai konsep analisis (an analytic concept) yang dapat digunakan untuk menjelaskan sesuatu.[16]
Ada sedikit kesamaan antara gender dan sex, keduanya secara etimologi sama-sama diartikan jenis kelamin. Yang membedakan adalah bahwa sex lebih kepada jenis kelamin yang menunjukkan adanya penyifatan dan pembagian dua jenis kelamin manusia secara biologis, yaitu laki-laki dan perempuan. Para feminis, di antaranya Simone De Beauvoir, Christ Weedon dan Barbara Lloyd sepakat bahwa pada dataran ini, ada garis yang bersifat nature, di mana laki-laki dan perempuan memiliki karakteristik tertentu yang melekat pada masing-masingnya secara permanen, kodrati dan tidak bisa dipertukarkan satu dengan yang lainnya. Misalnya laki-laki dengan identitas kepemilikannya akan penis, produksi sperma, agresivitas spermanya dan lain-lain. Sementara perempuan mempunyai alat reproduksi, sel telur, rahim dan alat untuk menyusui. Berbeda dengan sex yang karena sifat nature-nya laki-laki dan perempuan memiliki karakteristik tertentu yang melekat pada masing-masingnya secara permanen, kodrati dan tidak bisa dipertukarkan satu dengan yang lainnya, gender punya garis yang bersifat culture, di mana ciri dan sifat-sifat yang dilekatkan pada laki-laki dan perempuan bisa saja dipertukarkan karena hal tersebut tidak kodrati.[17]
Sebuah contoh konsep gender sebagai sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural, misalnya, bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap; kuat, rasional, jantan, perkasa. Ciri dari sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan, sementara juga ada perempuan yang kuat, rasional, perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu-ke waktu dan dari tempat ke tempat.[18]
Sejarah perbedaan gender (gender differences) antara manusia jenis laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu terbentuknya perbedaan-perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal, di antaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial atau kultural, melalui ajaran negara maupun teks-teks keagamaan.[19]
D.    Prinsip Gender Dalam Pandangan Islam
Dalam diskursus gender menurut pandangan Islam, semua permasalahan haruslah dikembalikan kepada teks-teks suci al-Quran dan sunnah. Karena semua eksistensi laki-laki dan perempuan di dalam al-Quran khususnya sudah gamblang dan jelas. Laki-laki dan perempuan berhak mendapatkan pahala jika mereka berdua melakukan perbuatan baik. Sebaliknya, mereka berhak mendapat murka-Nya jika melakukan perbuatan keji dan munkar. Sehingga dari sudut pandang ini, Islam justru agama yang paling adil. Islam yang sebenarnya ya Islam, bukan Islam phobia yang mereduksi ajaran Islam itu sendiri.
Gender dalam Islam, adalah persamaan hak dan kewajiban yang diperoleh serta kedudukan laki-laki dan perempuan itu sama. Justru dari segi penghormatan, perempuanlah yang berhak dihormati dan dimuliakan. Oleh karena itu, kami ingin mengutarakan ayat-ayat al-Quran dan hadis Rasulullah tentang pemuliaan perempuan dan secara implisit tidak ada hak-hak yang kurang bagi perempuan dalam Islam.[20]
Ada sebuah hadis Nabi Muhammad saw., yang meriwayatkan bahwa ibu mempunyai porsi lebih dari pada ayah dalam penghormatan.
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي قَالَ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أَبُوكَ
Artinya: "Ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw, lalu berkata, wahai Rasulullah, siapa seseorang yang paling aku hormati?, jawab Rasulullah saw., "Ibumu". Laki-laki itu berkata, siapa lagi?, jawab Rasululllah saw., "Ibumu" laki-laki itu berkata, siapa lagi? Jawab Rasulullah saw., "Bapakmu"" (H.R. Bukhori-Muslim)
Hadis ini jelas menerangkan mengenai apa yang sudah diberikan Islam terhadap perempuan. Sehingga dari sini, eksistensi perempuan sebagai sosok yang handal untuk kemajuan umat Islam sudah ada bukti. Sebagai contoh dari segi tenaga pendidik pada Islam dulu adalah Syifa' 'Adawiyah, ia adalah seorang penulis pada masa Jahiliyyah. Mengajari laki-laki dan perempuan pada masa itu. Hafshoh Binti Umar ra belajar kepadanya tentang membaca dan menulis sebelum dipinang oleh Rasulullah saw.[21] Al-Quran juga memuliakan perempuan sebagai orang yang paling berhak untuk berbuat baik kepadanya karena perempuanlah yang mengandung anak, melahirkan, menyapih hingga memberikan pendidikannya.[22]
Allah Swt. menciptakan manusia berpasang-pasangan[23], laki-laki dan perempuan. Keduanya sama-sama menjadi hamba yang wajib menyembah kepada Allah swt,[24] dan dalam kapasitas sebagai seorang hamba, laki-laki dan perempuan masing-masing akan mendapatkan ganjaran dari Tuhan sesuai dengan kadar pengabdiannya.[25] Selain tujuan diciptakannya manusia (laki-laki dan perempuan) untuk beribadah, mereka juga dimandati oleh Allah swt untuk mengelola atau mengurus bumi (sebagai khalifah di bumi). Laki-laki dan perempuan sama sebagai khalifah yang akan mempertangungjawabkan tugas-tugas kekhalifahannya di bumi sebagai mana mereka harus bertanggung jawab sebagai hamba-Nya.[26]
Laki-laki dan perempuan sama-sama mengemban amanah dan menerima perjanjian primordial dengan Tuhan. Seperti diketahui, menjelang seorang anak manusia keluar dari rahim ibunya, ia terlebih dahulu harus menerima perjanjian dengan Tuhannya, sebagaimana disebutkan dalam al-Quran[27]
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
Artinya: "Dan (ingatlah ketika tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab:"Betul (engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (kami melakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Allah)." (al-A'rāf [7]: 172)
Selain itu, laki-laki dan perempuan keduanya sama-sama berpeluang meraih prestasi. Jika mereka bekerja keras dan beramal baik tentunya kebaikanlah yang akan mereka peroleh. Dan sebaliknya jika malas dan berkelakuan buruk, keburukan pulalah yang menimpa. Al-Quran dalam hal ini menegaskan, bahwa manusia sama-sama mendapatkan hak dan kewajiban bahkan re-ward dari yang mereka perbuat.[28] Perempuan dan laki-laki juga mempunyai tanggung jawab yang sama yaitu amar ma'ruf nahi munkar.[29]
Dari beberapa penjelasan di atas mengindikasikan bahwa sebenarnya Islam, memberikan kedudukan yang sama dalam berbagai aspek kehidupan, meskipun ada memang dalam beberapa hal ada ayat-ayat maupun hadis-hadis yang terkesan mensubordinasi perempuan. Namun sebenarnya apa yang mereka (kaum feminis dan aktivis gender) klaim sebagai sesuatu yang bias, padahal sebenarnya al-Quran mempunyai berbagai macam hikmah yang sebenarnya sesuai dengan fitrah manusia sebagai makhluk ciptaan Allah yang senantiasa membutuhkan sebuah aturan. Karena Allah yang menciptakan manusia, maka sudah tentu Allah-lah yang paling tahu tentang kodrat dan fitrah manusia.
Sebagai contoh yang sering digembar-gemborkan oleh kaum feminis dan aktifis gender adalah seperti gugatan cerai yang merupakan hak laki-laki penuh, kesenjangan dalam pembagian waris, kepemimpinan laki-laki dalam sebuah keluarga, posisi perempuan di ranah publik, masalah 'iddah, poligami, nusyuz, mahar, kesaksian, dan masalah-masalah lain yang menurut kaum feminis ayat-ayat tersebut dalam al-Quran mengandung adanya distinction (perbedaan) antara laki-laki dan perempuan dari berbagai segi terutama menyangkut hak dan kewajiban. Laki-laki seolah mempunyai kedudukan dan kekuasaan lebih tinggi dari pada perempuan. Hal itulah yang mereka anggap adanya ketidakadilan antara laki-laki dan perempuan.
Padahal –sebagaimana dikatakan oleh Abbas Mahmud al-Aqqad dalam Filsafat Wacana, bukanlah keadilan jika dua hal berlainan disamakan hak dan kewajibannya. Itu adalah kedzaliman yang mencolok, bahkan kedzaliman yang sangat buruk, apapun akibat yang ditimbulkannya. Karena hal itu sama artinya dengan menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Persamaan antara hak dan kewajiban adalah keadilan yang ditetapkan oleh filsafat al-Quran bagi perempuan. Yaitu keadilan yang menempatkan perempuan pada kedudukannya yang benar, baik dilihat dari sudut alam kodratinya, kemasyarakatannya, maupun kehidupan individualnya. Adalah omong kosong jika ada yang mengatakan, bahwa pria dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban sama dalam segala hal. Karena alam tidak melahirkan dua jenis yang berbeda agar mempunyai sifat, keahlian, kemampuan, dan tujuan hidup yang satu dan sama.[30]
E.     Gender menurut al-Marāgī
Dalam al-Ḥujurāt ayat 13 dijelaskan mengenai asal kejadian manusia adalah dari satu ayah yaitu adam dan satu ibu yaitu hawa, manusia dijadikan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar saling mengenal dan tolong menolong untuk kemaslahatan yang bermacam-macam, namun manusia baik dari laki-laki maupun perempuan tersebut tidak ada yang diunggulkan seorang atas orang lainnya kecuali ketaqwaannya.[31] Karena ketaqwaan-lah yang menunjukkan kemuliaan orang di sisi Allah. Siapapun –dari jenis laki-laki maupun perempuan- yang mentaati perintah Allah dan menjauhi larangannya, beriman kepada tuhan-Nya, membenarkan Nabi-nabi dan utusan-utusannya, beramal saleh, mereka akan sama-sama mendapat pahala dan surga Allah swt.[32]
Allah swt. telah membebankan kepada laki-laki dan perempuan dengan suatu pekerjaan, sehingga ada memang bagian yang itu khusus menjadi pekerjaan  laki-laki dan tidak dapat bekerja sama dengan (dilakukan oleh) perempuan, begitu pula perempuan, ada pekerjaan yang harus dilakukan oleh perempuan yang tidak bisa dilakukan oleh laki-laki, sebagaimana Allah swt menghendaki kekhususan perempuan dengan pekerjaan-pekerjaan rumahnya dan laki-laki dengan pekerjaan-pekerjaan berat (luar rumah). Dan setiap dari mereka akan dimintai pertanggungjawaban atas bagian mereka. Dan Allah swt. melarang setiap dari laki-laki dan perempuan untuk melakukan hal yang menjadi kekhususan masing-masing. Seperti larangan untuk melakukan perkara-perkara yang bersifat khalqi (fitrah/kodrati) seperti akal dan kecantikan. Namun tidak ada larangan untuk melakukan perkara-perkara di luar kodrat mereka seperti perkara-perkara yang bersifat kasbi (usaha). Karena Allah memuji orang yang -melihat apa yang diperoleh oleh orang lain dan berharap untuk dapat mendapatkan sesuatu yang sama bahkan lebih baik dengan usaha dan kesungguhan.[33] Seperti dalam hal ibadah dan akhlak.
Dalam pandangan Islam, segala sesuatu diciptakan Allah dengan kodrat. "Sesungguhnya segala sesuatu kami ciptakan dengan qadar." (QS. Al-Qamar [54]: 49). Al-Marāgī mengatakan tentang ayat tersebut bahwa segala yang ada di dalam hidup ini, adalah merupakan takdir Allah dan pembentukan-Nya atas segala hikmah, aturan dan sesuai dengan sunah-Nya yang telah Ia buat di atas fitrah manusia.[34] Oleh para mufassir, qadar di sini diartikan sebagai "Ukuran-ukuran, sifat-sifat yang ditetapkan Allah bagi segala sesuatu" dan itulah kodrat. Dengan demikian, laki-laki dan perempuan sebagai individu dan jenis kelamin memiliki kodratnya masing-masing.[35]
Sebagaimana dikatakan, oleh al-Marāgī bahwa spesialis perempuan adalah dalam hal pekerjaan rumah. Dalam al-Aḥzāb ayat 33 juga terdapat larangan bagi perempuan untuk meninggalkan rumah dan bertabarruj. Berkenaan dengan ayat tersebut al-Marāgī mengatakan bahwa larangan untuk keluar rumah adalah bila tidak ada kebutuhan.[36] Dengan demikian tidak menutup kemungkinan bagi perempuan untuk beraktifitas di luar rumah –selain pekerjaan yang menjadi kekhususannya- bila memang benar-benar ada suatu kebutuhan.
Hal ini sejalan dengan penafsiran Ibnu Kaṡīr dan al-Maudūdī.[37] Berbeda dengan al-Qurthubī, dan Ibnu al-'Arabī –sebagaimana dikutip oleh M. Quraish Shihab dalam Wawasan al-Quran: Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat, yang mengatakan bahwa kebolehan perempuan keluar rumah adalah bila dalam keadaan darurat saja.[38] Sedangkan Sayyid Quthb yang mengartikan waqarna fi buyyutikunna dengan 'Berat, mantap dan menetap- juga sejalan dengan al-Marāgī yang mengatakan bahwa ayat tersebut bukan berarti bahwa perempuan tidak boleh meninggalkan rumah. Menurutnya, dengan peng-artian –kata waqarna- seperti itu, mengisyaratkan bahwa rumah tangga adalah tugas pokoknya, sedangkan selain itu adalah tempat ia tidak menetap atau bukan tugas pokoknya.[39]    
Adapun Quraish Shihab dalam bukunya Wawasan Al-Quran mengatakan bahwa banyak sekali contoh yang terjadi pada masa Rasulullah saw., dan sahabat beliau, menyangkut pekerjaan perempuan di luar rumah dan keikutsertaannya dalam berbagai bidang usaha dan pekerjaan, seperti nama-nama seperti Ummu Salamah, Ṣafiyyah, Laila al-Gifariyah, tercatat sebagai tokoh-tokoh yang terlibat dalam peperangan. Selain itu, para perempuan pada masa Nabi saw. aktif pula dalam bidang pekerjaan. Ada yang bekerja sebagai perias pengantin seperti Ummu Salim binti Malhan yang merias antara lain Ṣafiyyah binti Huyay, istri Nabi Muhammad saw., serta ada juga yang menjadi perawat, bidan, dan sebagainya. Dalam bidang perdagangan, nama istri Nabi yang pertama, Khadijah binti Khuwailid, tercatat sebagai seorang perempuan yang sangat sukses. Zainab binti Jahsy juga aktif bekerja menyamak kulit binatang, dan hasil usahanya itu beliau sedekahkan dan sebagainya.[40]  
Tentu saja tidak semua bentuk dan ragam pekerjaan yang terdapat pada masa kini telah ada pada masa Nabi saw. Namun, betapapun, sebagian ulama menyimpulkan bahwa Islam membenarkan kaum wanita aktif dalam berbagai kegiatan, atau bekerja dalam berbagai bidang di dalam maupun luar rumahnya secara mandiri, bersama orang lain, atau dengan pemerintah maupun swasta, selama pekerjaan tersebut dilakukan dalam suasana terhormat, sopan, serta mereka dapat memelihara agamanya dan dapat pula menghindarkan dampak-dampak negatif pekerjaan tersebut terhadap diri dan lingkungannya.[41]
Demikian adilnya Allah swt. dalam menempatkan kedudukan laki-laki dan perempuan sebagaimana dijelaskan di atas, karena memang Allah-lah yang paling mengerti keadaan manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya. Namun dalam beberapa ayat dalam al-Quran memang terkesan perempuan tersubordinasikan dari laki-laki dengan adanya ayat-ayat itu.
Di antaranya adalah an-Nisa : 34, yang menjelaskan akan kedudukan laki-laki sebagai pemimpin perempuan dalam keluarga. Al-Marāgī menjelaskan bahwa, tugas laki-laki adalah memberikan perlindungan dan penjagaan terhadap perempuan, karena secara penciptaan, laki-laki lebih mempunyai kekuatan dan kemampuan yang tidak dimiliki perempuan. Sebagaimana Allah memberikan kelebihan laki-laki untuk menafkahi keluarga, membayar mahar, memberikan penghidupan kepada keluarga. Dan menurut al-Marāgī yang dimaksud kepemimpinan laki-laki adalah pemimpin yang dapat mengelola yang dipimpin sesuai dengan kehendak dan pilihannya. Karena makna kepemimpinan di sini adalah dalam hal memberikan petunjuk dan memberikan pengawasan dalam melaksanakan apa yang dipimpinnya. Sehingga apapun yang ada di dalam keluarga –secara normatif- harus mendapatkan izin dari pemimpin (suami) tersebut. Baik menentukan harta yang digunakan maupun keputusan lainnya. Dan perempuan hanya melaksanakan sesuatu yang telah mendapat legalisasi dari sang suami.[42]
Adapun kaitannya dengan hak waris anak laki-laki yang berbeda dengan dari hak waris anak perempuan dengan perbandingan 2:1, menurut al-Marāgī ini disebabkan laki-laki diharuskan memberikan nafkah untuk diri dan keluarganya sedangkan perempuan hanya memberikan nafkah pada dirinya. Sehingga suatu keluarga itu nafkahnya menjadi tanggungan suami.[43]
Pun masalah-masalah lainnya seperti nusyuz, cerai, poligami, khulu', 'iddah, mahar, diyat, kesaksian dan masalah-masalah yang lainnya yang menurut para aktifis gender dan feminis merupakan ayat-ayat yang bias gender, menurut al-Marāgī berdasarkan kesimpulan yang dapat kami ambil -dari beberapa penjelasan di atas, tanpa harus menjelaskan ayat tersebut satu persatu semua-, adalah bahwa prinsip dari gender yang ada dalam al-Quran adalah dengan mengikuti kodrat laki-laki sebagai laki-laki, perempuan sebagai perempuan, meski dalam dataran tertentu al-Quran memang mengakui adanya perbedaan (distinction). Namun perbedaan (distinction) dalam al-Quran bukanlah ditujukan untuk sebuah pembedaan (discrimination), yang bertujuan untuk menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lainnya.
F.      Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan yang kami sampaikan, kami dapat mengambil kesimpulan bahwa prinsip gender dalam al-Quran menurut al-Marāgī adalah inti ajaran al-Quran itu sendiri tanpa mengubah-ubah atau menafsirkan secara 'bebas' untuk mendapatkan sebuah prinsip kesetaraan sebagaimana penafsiran yang dilakukan oleh para feminis dan aktifis gender. Al-Marāgī memandang bahwa laki-laki dan perempuan adalah makhluk ciptaan Allah yang sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Laki-laki yang akan beruntung yaitu laki-laki yang mentaati perintah Allah swt, begitu pula sebaliknya perempuan yang beruntung tentunya adalah perempuan yang mau mentaati perintah Allah swt dan menjauhi larangannya sesuai dengan kodrat yang telah digariskan Allah sesuai dengan fitrahnya.
Karena di dalam al-Quran telah dijelaskan berbagai macam alasan beserta hikmah adanya aturan (ayat) yang diturunkan tersebut. Lagi-lagi karena Allah yang menciptakan manusia maka Allah-lah yang paling paham bagaimana keadaan manusia dan aturan yang sesuai dengan keadaan manusia tersebut. Sehingga al-Quran turun adalah untuk mengatur semua urusan, lebih-lebih mengatur hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan dalam berumah tangga untuk menuju keluarga yang ideal. Al-Quran juga mengatur proporsionalitas seorang laki-laki dan perempuan, mengetahui tugas dan kewajiban masing-masing sesuai kodratnya sehingga mengetahui peran dan posisinya.


[1] Masyithah Mardhatillah, "Otoritas Cerai dalam al-Qur'an Perspektif Gender, Makalah Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga, Konsentrasi Studi al-Qur'an dan Hadis Program Studi Agama dan Filsafat, 2013, hlm. 1.
[2] Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, cet. Ke-14, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 128.
[3] Masyithah Mardhatillah, "Otoritas Cerai,… hlm. 1.
[4] Dalam beberapa sumber dibelakang nama beliau ditambah gelar "Beik",  lihat, Aḥmad Musṭafā al-Marāgī, al-Fatḥu al-Mubīn fī tabaqati al-Uṣūliyyīn, (Beirut: Muhammad Amin, CO) juz III, hlm. 202.
[5] Umar Rida Kahlahah, Mu'jam al-Mualifin, (Beirut: Dār al-iḥyā' al-Ulūm, tt.), hlm. 319.
[6] Abdul Jalal H.A., Tafsir al-Maraghi dan Tafsir an-Nur: Sebuah Studi Perbandingan, (Sitasi, PPS. IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 1985), hlm. 110.
[7] Ibid., hlm. 109.
[8] Harun Nasution, Ensiklopedia Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992), hlm. 618.
[9] Aḥmad Musṭafā al-Marāgī, Tafsīr al-Marāgī, (Beirut: Dār al-Fikr, 1974), juz  xxx, hlm. 273.
[10] Ibid., hlm. 273.
[11] Harun Nasution,  Ensiklopedi Islam,… hlm. 618.
[12] Muhammad Husain aż-Żahabī, at-Tafsīr wal Mufassirūn, jilid II (Kairo: Dār al-Kutub al-Hadīṡah, 1976), hlm. 595
[13] Siti Muslikhati, Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam, (Jakarta: Gema Insani Pres, 2004), hlm. 20.
[14] Ifaedah, "Gender (Perspektif Islam)", Makalah Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga, Konsentrasi Studi al-Qur'an dan Hadis Program Studi Agama dan Filsafat, 2013. Hlm. 1.
[15] Siti Muslikhati, Feminisme dan,… hlm. 20.
[16] Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender: Perspektif al-Quran, cet: II, (Jakarta, Paramadina, 2001), hlm. 20.
[17] Siti Muslikhati, Feminisme dan,… hlm. 19-20. Lihat  Mansour Fakih, Analisis Gender,… hlm. 8.
[18] Mansour Fakih, Analisis Gender,… hlm. 8-9.
[19] Ibid., hlm. 9.
[20] Ifaedah, "Gender (Perspektif Islam)",… hlm. 2.
[21] As'ad Sahmarani, al-Mar'ah fī Tārīkh wa asy-Syarī'ah, (Beirut: Dār an-Nafāis, 1997), hlm. 126-127
[22] Lihat Q.S. Luqmān [31]: 4.
[23] Lihat Q.S. an-Nabā' [78]: 8 dan an-Najm [53]: 45.
[24] Lihat Q.S. aż-Żāriyāt [51]: 56.
[25] Lihat Q.S. an-Naḥl [16]: 97.
[26] Lihat al-An'ām [6]: 165 dan al-Baqarah [2]: 30.
[27] Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan,… hlm. 253.
[28] Lihat Q.S. Gāfir [40]: 40.
[29] Lihat Q.S. at-Taubah [9]: 71.
[30] Abbas Mahmud al-Aqqad, Filsafat Qur'an, Terj. Tim Pustaka Firdaus, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986), hlm. 70.
[31] Aḥmad Musṭafā al-Marāgī, Tafsīr al-Marāgī, (ttp: Dār an-Nasyr, tt.), juz XXVI, hlm 143.
[32] Ibid., juz XXIV, hlm. 74-75.
[33] Ibid., juz V, hlm. 23.
[34] Ibid., juz XXVII, hlm. 101.
[35] Ifaedah, "Gender (Perspektif Islam)",… hlm. 14.
[36] Aḥmad Musṭafā al-Marāgī, Tafsīr al-Marāgī,… juz XXII, hlm. 6
[37] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran: Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 2007), hlm. :42
[38] Ibid., hlm. 401-402.
[39] Ibid., hlm. 404.
[40] Ibid., hlm. 405-406.
[41] Ibid., hlm. 406.
[42] Aḥmad Musṭafā al-Marāgī, Tafsīr al-Marāgī,… juz V, hlm. 26.
[43] Ibid., juz IV, hlm. 196.

2 komentar:

  1. Insaallah semua akan dimudahkan untuk setiap tindakan yang dilakukan oleh setiap kaum Wanita. Tindakan yang benar-benar sesuai dengan tuntutan Agama Islam. Dan Wanita memang benar-benar Dimuliakan di dalam Islam.

    BalasHapus
    Balasan
    1. yah memang benar wanita telah dimuliakan oleh Islam, tugas wanita lah untuk memuliakan diri mereka dgn islam, dan tugas semua untuk membebaskan wanita dari istiadat yg merendahkan wanita.. karena itu tidak sesuai ajaran Islam

      Hapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...