oleh : Huzdaifah al-Kamiriy
A.
Pendahuluan
Persoalan gender merupakan suatu wacana yang seperti tak pernah
selesai dibahas, dibicarakan lagi dan lagi. Salah satu sebab 'awet'nya wacana
ini adalah karena ia hampir bisa ditemukan dan dikaitkan dengan semua aspek
kehidupan, semisal aspek pendidikan, kehidupan sosial-ekonomi-politik, hukum,
hingga aspek-aspek teologis semisal dengan teks-teks keagamaan yang diakui
sakralitasnya. Fleksibilitas wacana gender kemudian melahirkan apa yang disebut
dengan pengarus-utamaan gender yang lebih dikenal dengan istilah gender mainstream
Seiring dengan itu, isu gender kemudian banyak melahirkan produk
pemikiran yang berupaya mengakhiri ketertindasan dan atau subordinasi
perempuan. Karya-karya tersebut umumnya terkemas dalam produk dan kadang dengan
arah yang berbeda, akan tetapi berangkat dari sebuah kesadaran akan
ketertindasan perempuan, kesadaran tersebut kemudian menuntun para pemikir
untuk mencari tahu sebab musabab di balik terjadinya penindasan perempuan. Dari
sebuah titik berangkat yang sama, mereka mengambil jalur yang berbeda. Beberapa
di antara pemikir tersebut berasumsi bahwa ketertindasan perempuan disebabkan
oleh konstruk sosial, beberapa yang lain 'menyalahkan' faktor terbatasnya akses
informasi atau ruang gerak, sedang beberapa yang lain melihat adanya campur
tangan faktor teologis di balik ketertindasan perempuan.
Kelompok yang menganggap faktor teologis sebagai salah satu
penyebab ketertindasan dan subordinasi perempuan umumnya beranggapan bahwa ada
yang salah dalam pembacaan teks-teks keagamaan, bukan dalam teks keagamaan
sendiri. Anggapan ini kemudian menuntun mereka untuk kembali membaca teks-teks
keagamaan dengan perspektif yang lebih humanis dan lebih emansipatoris.[1]
Dewasa ini agama juga dianggap sebagai biang masalah, bahkan
kambing hitam atas terjadinya pelanggengan ketidakadilan gender. Hal yang
sangat mengganggu misalnya tentang penggambaran bahwa Tuhan seolah-olah adalah
laki-laki, penggambaran semacam ini terjadi dalam semua agama.[2]
Dalam agama Islam, wacana dan perspektif gender juga menjadi salah
satu hal yang banyak diminati oleh para pemikir, mufassir, dan penggiat studi
al-Qur'an. Ketertarikan tersebut hingga hari ini melahirkan banyak karya yang
sedikit banyak memetakan peta-peta metodologis studi tafsir dengan perspektif
gender. Dalam kerja penelitiannya, para pemikir tersebut biasanya menyoroti
satu atau beberapa hal, semisal konsep penciptaan manusia, posisi perempuan
diranah publik, posisi perempuan di ranah hukum, hingga posisi perempuan dalam keluarga
atau sebuah lembaga pernikahan.[3]
Dengan adanya permasalahan di atas, kami -dengan makalah ini- akan
menjelaskan mengenai pandangan al-Marāgī seorang mufassir abad modern, terhadap
permsalahan gender, di tilik dari ayat-ayat al-Quran yang cenderung bias
gender. Dengan adanya pembacaan pada teks-teks al-Quran yang cenderung bias
gender, kami akan menyuguhkan beberapa pokok dari pemikiran al-Marāgī mengenai
hal tersebut.
B.
Biografi al-Marāgī
Nama lengkap beliau adalah Aḥmad Musṭafā ibn Muḥammad ibn 'Abd
al-Mun'im al-Qāḍī al-Marāgī,[4]
dilahirkan di kota al-Marāg propinsi Suhaj pada tahun 1300 H/1883 M.[5] Aḥmad
Musṭafā al-Marāgī berasal dari keluarga yang intelek dan menguasai berbagai
macam ilmu agama Islam,[6] di
samping itu, keluarga al-Marāgī juga dikenal sebagai usrah al-Qāḍī
karena empat orang putranya menjadi hakim.[7]
Sebagai anak yang hidup dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga
ulama yang intelek, al-Marāgī pertama belajar al-Quran dan agama Islam dari
orang tuanya, sehingga sebelum mencapai umur 13 tahun, ia sudah hafal al-Quran.
Setelah mencapai usia sekolah, al-Marāgī melanjutkan belajarnya di madrasah
yang ada di kotanya untuk mempelajari al-Quran, ilmu tajwid, dan dasar-dasar
ilmu sejarah sampai tamat pendidikan tingkat menengah.
Setelah menyelesaikan pendidikan tingkat menengah, pada tahun 1314
H/1897 M, al-Marāgī melanjutkan pendidikannya ke Universitas al-Azhar Kairo,
untuk mempelajari berbagai cabang ilmu pengetahuan seperti; Bahasa Arab,
tafsir, ulum al-Quran, hadis, fikih, usul fikih, balagah, ilmu falak,
dan lain sebagainya. Di al-Azhar al-Marāgī tidak sempat menyelesaikan
kuliahnya, karena begitu hampir selesai ia pindah ke Dār al-'Ulūm dan
selesai pada tahun 1326H/1909 M. Di antara tokoh-tokoh yang menjadi dosen
beliau pada waktu itu adalah: Muhammad 'Abduh, Muhammad bakhit al-Mufi'i, Ahmad
Rifa'i al-Fayumi dan Husain al-'Adawi. Dari mereka itulah al-Marāgī mempelajari
berbagai cabang ilmu pengetahuan Islam, sehingga mampu menjadikan sebagai salah
seorang ulama yang produktif dalam menulis.
Kitab Tafsir al-Marāgī merupakan kitab yang paling
terkenal di antara kitab-kitab yang ditulis oleh al-Marāgī. Kitab ini
sebagaimana dijelaskan oleh pengarangnya dalam muqaddimah, bahwa Tafsir
al-Marāgī terdiri atas 30 juz, dan dicetak dalam 10 jilid.[8]
Dan kitab ini diselesaikan dalam kurun
waktu tahun 1940-an dan berakhir pada Bulan Zulhijah 1365H/1948 M., di Kota Hilwan
Kairo Mesir.[9]
Penulisan Tafsir al-Marāgī dilatar belakangi oleh banyaknya pertanyaaan
yang dilontarkan kepada al-Marāgī, mengenai kitab tafsir apakah yang paling
singkat. Masalahnya meskipun pada saat itu banyak kitab-kitab tafsir yang cukup
bermanfaat, karena mengungkap berbagai persoalan-persoalan agama, fikih, usul
fikih, tauhid dan ilmu-ilmu lainnya, tetapi ternyata semua itu justru semakin
mempersulit dalam memahami al-Quran.[10] Dari
persoalan tersebut, al-Marāgī merasa
terpanggil untuk menulis sebuah kitab tafsir yang sistematis, mudah dipahami
dalam waktu singkat, dan menggunakan bahasa yang sederhana dan efektif.
Kitab Tafsir al-Marāgī menggunakan metode taḥlīlī, dan
dari segi orientasi pembahasan dan bahasa yang digunakan dapat di katakana
bahwa Tafsir al-Marāgī adalah kitab tafsir yang menggunakan corak adabi
ijtima'i. metode taḥlīlī al-Marāgī adalah metode yang didasarkan
pada gabungan antara bi al-ma'ṡūr dan bi al-ra'yi. Menurutnya zaman ini
tidak mungkin menafsirkan al-Quran hanya dengan bi al-ma'ṡur saja.
Sebab, riwayat terbatas pada nas-nasnya, sedang kasus-kasus yang memerlukan
ketentuan-ketentuan tafsir semakin banyak seiring dengan perkembangan ilmu
pengetahuan modern yang sangat cepat. [11]
Sedangkan sumber Tafsir al-Marāgī sebagai mana dikatakan aż-Żahabī
dalam at-Tafsīr al-Mufassirūn bahwa: al-Marāgī dalam menafsirkan ayat
al-Quran berdasarkan ayat-ayat al-Quran yang memiliki tema yang sama, ia juga
bersandar pada hadis Rasul saw, penjelasan salafussalih dari para
sahabat dan tabi'in dan juga mengikuti aturan-aturan kebahasaan serta sunnatullah
yang ada di alam ini, kemudian berdasarkan para mufasir pendahulunya. Ia juga
menggunakan akalnya dan meletakkan semua sumber-sumber di atas dengan
pertimbangan akal pemikirannya.[12]
C.
Pengertian Gender
Kata "Gender" secara etimologi berasal dari bahasa
inggris, gender, berarti jenis kelamin. Gender adalah suatu konsep
tentang klasifikasi sifat laki-laki (maskulin) dan perempuan (feminin) yang
dibentuk secara sosio-kultural.[13]
Dalam Webster's New World Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan
yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah
laku.[14]
Di dalam Women's Studies Encyclopedia
dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep cultural yang berupaya
membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas
dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang di
masyarakat. Hilary M. Lips dalam bukunya yang terkenal Sex And Gender: An
Introduction mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap
laki-laki dan perempuan. Pendapat ini sejalan dengan pendapat pada umumnya kaum
feminis, yaitu What A Given Society Defines As Masculine Or Feminine Is A
Component of Gender 'semua ketetapan masyarakat, perihal penentuan
seseorang sebagai bersifat kelaki-lakian (maskulin) atau keperempuanan
(feminin) adalah termasuk bidang kajian gender'.[15]
H.T. Wilson dalam Sex And Gender mengartikan gender sebagai
suatu dasar untuk menentukan perbedaan sumbangan laki-laki dan perempuan pada
kebudayaan dan kehidupan kolektif yang sebagai akibatnya mereka menjadi
perempuan dan laki-laki. Elaine Showalter mengartikan gender lebih dari sekedar
pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial budaya. Ia
menekankan sebagai konsep analisis (an analytic concept) yang dapat
digunakan untuk menjelaskan sesuatu.[16]
Ada sedikit kesamaan antara gender dan sex, keduanya secara
etimologi sama-sama diartikan jenis kelamin. Yang membedakan adalah bahwa sex
lebih kepada jenis kelamin yang menunjukkan adanya penyifatan dan pembagian dua
jenis kelamin manusia secara biologis, yaitu laki-laki dan perempuan. Para
feminis, di antaranya Simone De Beauvoir, Christ Weedon dan Barbara Lloyd
sepakat bahwa pada dataran ini, ada garis yang bersifat nature, di mana
laki-laki dan perempuan memiliki karakteristik tertentu yang melekat pada
masing-masingnya secara permanen, kodrati dan tidak bisa dipertukarkan satu
dengan yang lainnya. Misalnya laki-laki dengan identitas kepemilikannya akan
penis, produksi sperma, agresivitas spermanya dan lain-lain. Sementara
perempuan mempunyai alat reproduksi, sel telur, rahim dan alat untuk menyusui.
Berbeda dengan sex yang karena sifat nature-nya laki-laki dan
perempuan memiliki karakteristik tertentu yang melekat pada masing-masingnya
secara permanen, kodrati dan tidak bisa dipertukarkan satu dengan yang lainnya,
gender punya garis yang bersifat culture, di mana ciri dan sifat-sifat
yang dilekatkan pada laki-laki dan perempuan bisa saja dipertukarkan karena hal
tersebut tidak kodrati.[17]
Sebuah contoh konsep gender sebagai sifat yang melekat pada kaum
laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural,
misalnya, bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau
keibuan. Sementara laki-laki dianggap; kuat, rasional, jantan, perkasa. Ciri
dari sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya
ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan, sementara juga ada perempuan
yang kuat, rasional, perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat itu dapat terjadi
dari waktu-ke waktu dan dari tempat ke tempat.[18]
Sejarah perbedaan gender (gender differences) antara manusia
jenis laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh
karena itu terbentuknya perbedaan-perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal,
di antaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara
sosial atau kultural, melalui ajaran negara maupun teks-teks keagamaan.[19]
D.
Prinsip Gender Dalam Pandangan Islam
Dalam diskursus gender menurut pandangan Islam, semua permasalahan
haruslah dikembalikan kepada teks-teks suci al-Quran dan sunnah. Karena semua
eksistensi laki-laki dan perempuan di dalam al-Quran khususnya sudah gamblang
dan jelas. Laki-laki dan perempuan berhak mendapatkan pahala jika mereka berdua
melakukan perbuatan baik. Sebaliknya, mereka berhak mendapat murka-Nya jika
melakukan perbuatan keji dan munkar. Sehingga dari sudut pandang ini, Islam
justru agama yang paling adil. Islam yang sebenarnya ya Islam, bukan Islam
phobia yang mereduksi ajaran Islam itu sendiri.
Gender dalam Islam, adalah persamaan hak dan kewajiban yang
diperoleh serta kedudukan laki-laki dan perempuan itu sama. Justru dari segi
penghormatan, perempuanlah yang berhak dihormati dan dimuliakan. Oleh karena
itu, kami ingin mengutarakan ayat-ayat al-Quran dan hadis Rasulullah tentang
pemuliaan perempuan dan secara implisit tidak ada hak-hak yang kurang bagi
perempuan dalam Islam.[20]
Ada sebuah hadis Nabi Muhammad saw., yang meriwayatkan bahwa ibu
mempunyai porsi lebih dari pada ayah dalam penghormatan.
جَاءَ رَجُلٌ
إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ
مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي قَالَ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ
أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أَبُوكَ
Artinya:
"Ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw, lalu berkata, wahai
Rasulullah, siapa seseorang yang paling aku hormati?, jawab Rasulullah saw.,
"Ibumu". Laki-laki itu berkata, siapa lagi?, jawab Rasululllah saw.,
"Ibumu" laki-laki itu berkata, siapa lagi? Jawab Rasulullah saw.,
"Bapakmu"" (H.R. Bukhori-Muslim)
Hadis ini jelas menerangkan mengenai apa yang sudah diberikan Islam
terhadap perempuan. Sehingga dari sini, eksistensi perempuan sebagai sosok yang
handal untuk kemajuan umat Islam sudah ada bukti. Sebagai contoh dari segi
tenaga pendidik pada Islam dulu adalah Syifa' 'Adawiyah, ia adalah seorang
penulis pada masa Jahiliyyah. Mengajari laki-laki dan perempuan pada masa itu.
Hafshoh Binti Umar ra belajar kepadanya tentang membaca dan menulis sebelum
dipinang oleh Rasulullah saw.[21]
Al-Quran juga memuliakan perempuan sebagai orang yang paling berhak untuk
berbuat baik kepadanya karena perempuanlah yang mengandung anak, melahirkan,
menyapih hingga memberikan pendidikannya.[22]
Allah Swt. menciptakan manusia berpasang-pasangan[23], laki-laki
dan perempuan. Keduanya sama-sama menjadi hamba yang wajib menyembah kepada
Allah swt,[24]
dan dalam kapasitas sebagai seorang hamba, laki-laki dan perempuan
masing-masing akan mendapatkan ganjaran dari Tuhan sesuai dengan kadar
pengabdiannya.[25]
Selain tujuan diciptakannya manusia (laki-laki dan perempuan) untuk beribadah,
mereka juga dimandati oleh Allah swt untuk mengelola atau mengurus bumi
(sebagai khalifah di bumi). Laki-laki dan perempuan sama sebagai khalifah yang
akan mempertangungjawabkan tugas-tugas kekhalifahannya di bumi sebagai mana
mereka harus bertanggung jawab sebagai hamba-Nya.[26]
Laki-laki dan perempuan sama-sama mengemban amanah dan menerima
perjanjian primordial dengan Tuhan. Seperti diketahui, menjelang seorang anak
manusia keluar dari rahim ibunya, ia terlebih dahulu harus menerima perjanjian
dengan Tuhannya, sebagaimana disebutkan dalam al-Quran[27]
وَإِذْ
أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى
أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ
الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
Artinya: "Dan (ingatlah ketika tuhanmu mengeluarkan
keturunan anak-anak adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian
terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?"
mereka menjawab:"Betul (engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi".
(kami melakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:
"Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini
(keesaan Allah)." (al-A'rāf [7]: 172)
Selain itu, laki-laki dan perempuan keduanya sama-sama berpeluang
meraih prestasi. Jika mereka bekerja keras dan beramal baik tentunya
kebaikanlah yang akan mereka peroleh. Dan sebaliknya jika malas dan berkelakuan
buruk, keburukan pulalah yang menimpa. Al-Quran dalam hal ini menegaskan, bahwa
manusia sama-sama mendapatkan hak dan kewajiban bahkan re-ward dari yang
mereka perbuat.[28]
Perempuan dan laki-laki juga mempunyai tanggung jawab yang sama yaitu amar
ma'ruf nahi munkar.[29]
Dari beberapa penjelasan di atas mengindikasikan bahwa sebenarnya Islam,
memberikan kedudukan yang sama dalam berbagai aspek kehidupan, meskipun ada
memang dalam beberapa hal ada ayat-ayat maupun hadis-hadis yang terkesan
mensubordinasi perempuan. Namun sebenarnya apa yang mereka (kaum feminis dan
aktivis gender) klaim sebagai sesuatu yang bias, padahal sebenarnya al-Quran
mempunyai berbagai macam hikmah yang sebenarnya sesuai dengan fitrah manusia
sebagai makhluk ciptaan Allah yang senantiasa membutuhkan sebuah aturan. Karena
Allah yang menciptakan manusia, maka sudah tentu Allah-lah yang paling tahu
tentang kodrat dan fitrah manusia.
Sebagai contoh yang sering digembar-gemborkan oleh kaum feminis dan
aktifis gender adalah seperti gugatan cerai yang merupakan hak laki-laki penuh,
kesenjangan dalam pembagian waris, kepemimpinan laki-laki dalam sebuah
keluarga, posisi perempuan di ranah publik, masalah 'iddah, poligami, nusyuz,
mahar, kesaksian, dan masalah-masalah lain yang menurut kaum feminis ayat-ayat
tersebut dalam al-Quran mengandung adanya distinction (perbedaan) antara
laki-laki dan perempuan dari berbagai segi terutama menyangkut hak dan
kewajiban. Laki-laki seolah mempunyai kedudukan dan kekuasaan lebih tinggi dari
pada perempuan. Hal itulah yang mereka anggap adanya ketidakadilan antara
laki-laki dan perempuan.
Padahal –sebagaimana dikatakan oleh Abbas Mahmud al-Aqqad dalam Filsafat
Wacana, bukanlah keadilan jika dua hal berlainan disamakan hak dan
kewajibannya. Itu adalah kedzaliman yang mencolok, bahkan kedzaliman yang
sangat buruk, apapun akibat yang ditimbulkannya. Karena hal itu sama artinya
dengan menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Persamaan antara hak dan
kewajiban adalah keadilan yang ditetapkan oleh filsafat al-Quran bagi
perempuan. Yaitu keadilan yang menempatkan perempuan pada kedudukannya yang
benar, baik dilihat dari sudut alam kodratinya, kemasyarakatannya, maupun
kehidupan individualnya. Adalah omong kosong jika ada yang mengatakan, bahwa
pria dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban sama dalam segala hal. Karena
alam tidak melahirkan dua jenis yang berbeda agar mempunyai sifat, keahlian,
kemampuan, dan tujuan hidup yang satu dan sama.[30]
E.
Gender menurut al-Marāgī
Dalam al-Ḥujurāt ayat 13 dijelaskan mengenai asal kejadian manusia
adalah dari satu ayah yaitu adam dan satu ibu yaitu hawa, manusia dijadikan
bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar saling mengenal dan tolong menolong
untuk kemaslahatan yang bermacam-macam, namun manusia baik dari laki-laki
maupun perempuan tersebut tidak ada yang diunggulkan seorang atas orang lainnya
kecuali ketaqwaannya.[31]
Karena ketaqwaan-lah yang menunjukkan kemuliaan orang di sisi Allah. Siapapun
–dari jenis laki-laki maupun perempuan- yang mentaati perintah Allah dan
menjauhi larangannya, beriman kepada tuhan-Nya, membenarkan Nabi-nabi dan
utusan-utusannya, beramal saleh, mereka akan sama-sama mendapat pahala dan
surga Allah swt.[32]
Allah swt. telah membebankan kepada laki-laki dan perempuan dengan
suatu pekerjaan, sehingga ada memang bagian yang itu khusus menjadi
pekerjaan laki-laki dan tidak dapat
bekerja sama dengan (dilakukan oleh) perempuan, begitu pula perempuan, ada
pekerjaan yang harus dilakukan oleh perempuan yang tidak bisa dilakukan oleh
laki-laki, sebagaimana Allah swt menghendaki kekhususan perempuan dengan
pekerjaan-pekerjaan rumahnya dan laki-laki dengan pekerjaan-pekerjaan berat
(luar rumah). Dan setiap dari mereka akan dimintai pertanggungjawaban atas
bagian mereka. Dan Allah swt. melarang setiap dari laki-laki dan perempuan
untuk melakukan hal yang menjadi kekhususan masing-masing. Seperti larangan
untuk melakukan perkara-perkara yang bersifat khalqi (fitrah/kodrati)
seperti akal dan kecantikan. Namun tidak ada larangan untuk melakukan
perkara-perkara di luar kodrat mereka seperti perkara-perkara yang bersifat kasbi
(usaha). Karena Allah memuji orang yang -melihat apa yang diperoleh oleh orang
lain dan berharap untuk dapat mendapatkan sesuatu yang sama bahkan lebih baik
dengan usaha dan kesungguhan.[33]
Seperti dalam hal ibadah dan akhlak.
Dalam pandangan Islam, segala sesuatu diciptakan Allah dengan
kodrat. "Sesungguhnya segala sesuatu kami ciptakan dengan qadar."
(QS. Al-Qamar [54]: 49). Al-Marāgī mengatakan tentang ayat tersebut bahwa
segala yang ada di dalam hidup ini, adalah merupakan takdir Allah dan
pembentukan-Nya atas segala hikmah, aturan dan sesuai dengan sunah-Nya yang
telah Ia buat di atas fitrah manusia.[34]
Oleh para mufassir, qadar di sini diartikan sebagai "Ukuran-ukuran,
sifat-sifat yang ditetapkan Allah bagi segala sesuatu" dan itulah
kodrat. Dengan demikian, laki-laki dan perempuan sebagai individu dan jenis
kelamin memiliki kodratnya masing-masing.[35]
Sebagaimana dikatakan, oleh al-Marāgī bahwa spesialis perempuan
adalah dalam hal pekerjaan rumah. Dalam al-Aḥzāb ayat 33 juga terdapat larangan
bagi perempuan untuk meninggalkan rumah dan bertabarruj. Berkenaan
dengan ayat tersebut al-Marāgī mengatakan bahwa larangan untuk keluar rumah
adalah bila tidak ada kebutuhan.[36]
Dengan demikian tidak menutup kemungkinan bagi perempuan untuk beraktifitas di
luar rumah –selain pekerjaan yang menjadi kekhususannya- bila memang
benar-benar ada suatu kebutuhan.
Hal ini sejalan dengan penafsiran Ibnu Kaṡīr dan al-Maudūdī.[37] Berbeda
dengan al-Qurthubī, dan Ibnu al-'Arabī –sebagaimana dikutip oleh M. Quraish
Shihab dalam Wawasan al-Quran: Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat,
yang mengatakan bahwa kebolehan perempuan keluar rumah adalah bila dalam
keadaan darurat saja.[38]
Sedangkan Sayyid Quthb yang mengartikan waqarna fi buyyutikunna dengan
'Berat, mantap dan menetap- juga sejalan dengan al-Marāgī yang mengatakan
bahwa ayat tersebut bukan berarti bahwa perempuan tidak boleh meninggalkan
rumah. Menurutnya, dengan peng-artian –kata waqarna- seperti itu,
mengisyaratkan bahwa rumah tangga adalah tugas pokoknya, sedangkan selain itu
adalah tempat ia tidak menetap atau bukan tugas pokoknya.[39]
Adapun Quraish Shihab dalam bukunya Wawasan Al-Quran
mengatakan bahwa banyak sekali contoh yang terjadi pada masa Rasulullah saw.,
dan sahabat beliau, menyangkut pekerjaan perempuan di luar rumah dan
keikutsertaannya dalam berbagai bidang usaha dan pekerjaan, seperti nama-nama
seperti Ummu Salamah, Ṣafiyyah, Laila al-Gifariyah, tercatat sebagai
tokoh-tokoh yang terlibat dalam peperangan. Selain itu, para perempuan pada
masa Nabi saw. aktif pula dalam bidang pekerjaan. Ada yang bekerja sebagai
perias pengantin seperti Ummu Salim binti Malhan yang merias antara lain Ṣafiyyah
binti Huyay, istri Nabi Muhammad saw., serta ada juga yang menjadi perawat,
bidan, dan sebagainya. Dalam bidang perdagangan, nama istri Nabi yang pertama,
Khadijah binti Khuwailid, tercatat sebagai seorang perempuan yang sangat
sukses. Zainab binti Jahsy juga aktif bekerja menyamak kulit binatang, dan
hasil usahanya itu beliau sedekahkan dan sebagainya.[40]
Tentu saja tidak semua bentuk dan ragam pekerjaan yang terdapat
pada masa kini telah ada pada masa Nabi saw. Namun, betapapun, sebagian ulama
menyimpulkan bahwa Islam membenarkan kaum wanita aktif dalam berbagai kegiatan,
atau bekerja dalam berbagai bidang di dalam maupun luar rumahnya secara
mandiri, bersama orang lain, atau dengan pemerintah maupun swasta, selama
pekerjaan tersebut dilakukan dalam suasana terhormat, sopan, serta mereka dapat
memelihara agamanya dan dapat pula menghindarkan dampak-dampak negatif
pekerjaan tersebut terhadap diri dan lingkungannya.[41]
Demikian adilnya Allah swt. dalam menempatkan kedudukan laki-laki
dan perempuan sebagaimana dijelaskan di atas, karena memang Allah-lah yang
paling mengerti keadaan manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya. Namun dalam
beberapa ayat dalam al-Quran memang terkesan perempuan tersubordinasikan dari
laki-laki dengan adanya ayat-ayat itu.
Di antaranya adalah an-Nisa : 34, yang menjelaskan akan kedudukan
laki-laki sebagai pemimpin perempuan dalam keluarga. Al-Marāgī menjelaskan
bahwa, tugas laki-laki adalah memberikan perlindungan dan penjagaan terhadap
perempuan, karena secara penciptaan, laki-laki lebih mempunyai kekuatan dan
kemampuan yang tidak dimiliki perempuan. Sebagaimana Allah memberikan kelebihan
laki-laki untuk menafkahi keluarga, membayar mahar, memberikan penghidupan
kepada keluarga. Dan menurut al-Marāgī yang dimaksud kepemimpinan laki-laki
adalah pemimpin yang dapat mengelola yang dipimpin sesuai dengan kehendak dan
pilihannya. Karena makna kepemimpinan di sini adalah dalam hal memberikan
petunjuk dan memberikan pengawasan dalam melaksanakan apa yang dipimpinnya. Sehingga
apapun yang ada di dalam keluarga –secara normatif- harus mendapatkan izin dari
pemimpin (suami) tersebut. Baik menentukan harta yang digunakan maupun
keputusan lainnya. Dan perempuan hanya melaksanakan sesuatu yang telah mendapat
legalisasi dari sang suami.[42]
Adapun kaitannya dengan hak waris anak laki-laki yang berbeda
dengan dari hak waris anak perempuan dengan perbandingan 2:1, menurut al-Marāgī
ini disebabkan laki-laki diharuskan memberikan nafkah untuk diri dan
keluarganya sedangkan perempuan hanya memberikan nafkah pada dirinya. Sehingga
suatu keluarga itu nafkahnya menjadi tanggungan suami.[43]
Pun masalah-masalah lainnya seperti nusyuz, cerai, poligami,
khulu', 'iddah, mahar, diyat, kesaksian dan masalah-masalah yang
lainnya yang menurut para aktifis gender dan feminis merupakan ayat-ayat yang
bias gender, menurut al-Marāgī berdasarkan kesimpulan yang dapat kami ambil
-dari beberapa penjelasan di atas, tanpa harus menjelaskan ayat tersebut satu
persatu semua-, adalah bahwa prinsip dari gender yang ada dalam al-Quran adalah
dengan mengikuti kodrat laki-laki sebagai laki-laki, perempuan sebagai
perempuan, meski dalam dataran tertentu al-Quran memang mengakui adanya
perbedaan (distinction). Namun perbedaan (distinction) dalam al-Quran
bukanlah ditujukan untuk sebuah pembedaan (discrimination), yang
bertujuan untuk menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lainnya.
F.
Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan yang kami sampaikan, kami dapat mengambil
kesimpulan bahwa prinsip gender dalam al-Quran menurut al-Marāgī adalah inti
ajaran al-Quran itu sendiri tanpa mengubah-ubah atau menafsirkan secara 'bebas'
untuk mendapatkan sebuah prinsip kesetaraan sebagaimana penafsiran yang
dilakukan oleh para feminis dan aktifis gender. Al-Marāgī memandang bahwa
laki-laki dan perempuan adalah makhluk ciptaan Allah yang sama-sama memiliki
kelebihan dan kekurangan masing-masing. Laki-laki yang akan beruntung yaitu
laki-laki yang mentaati perintah Allah swt, begitu pula sebaliknya perempuan
yang beruntung tentunya adalah perempuan yang mau mentaati perintah Allah swt
dan menjauhi larangannya sesuai dengan kodrat yang telah digariskan Allah
sesuai dengan fitrahnya.
Karena di dalam al-Quran telah dijelaskan berbagai macam alasan
beserta hikmah adanya aturan (ayat) yang diturunkan tersebut. Lagi-lagi karena
Allah yang menciptakan manusia maka Allah-lah yang paling paham bagaimana
keadaan manusia dan aturan yang sesuai dengan keadaan manusia tersebut. Sehingga
al-Quran turun adalah untuk mengatur semua urusan, lebih-lebih mengatur hak dan
kewajiban laki-laki dan perempuan dalam berumah tangga untuk menuju keluarga
yang ideal. Al-Quran juga mengatur proporsionalitas seorang laki-laki dan
perempuan, mengetahui tugas dan kewajiban masing-masing sesuai kodratnya
sehingga mengetahui peran dan posisinya.
[1]
Masyithah Mardhatillah, "Otoritas Cerai dalam al-Qur'an Perspektif Gender,
Makalah Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga, Konsentrasi Studi al-Qur'an
dan Hadis Program Studi Agama dan Filsafat, 2013, hlm. 1.
[2] Mansour
Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, cet. Ke-14, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 128.
[3] Masyithah
Mardhatillah, "Otoritas Cerai,… hlm. 1.
[4] Dalam
beberapa sumber dibelakang nama beliau ditambah gelar "Beik", lihat, Aḥmad
Musṭafā al-Marāgī, al-Fatḥu al-Mubīn fī tabaqati al-Uṣūliyyīn, (Beirut:
Muhammad Amin, CO) juz III, hlm. 202.
[5] Umar
Rida Kahlahah, Mu'jam al-Mualifin, (Beirut: Dār al-iḥyā' al-Ulūm, tt.),
hlm. 319.
[6] Abdul
Jalal H.A., Tafsir al-Maraghi dan Tafsir an-Nur: Sebuah Studi Perbandingan,
(Sitasi, PPS. IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 1985), hlm. 110.
[7] Ibid.,
hlm. 109.
[8]
Harun Nasution, Ensiklopedia Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan,
1992), hlm. 618.
[9] Aḥmad
Musṭafā al-Marāgī, Tafsīr al-Marāgī, (Beirut: Dār al-Fikr, 1974), juz xxx, hlm. 273.
[10] Ibid.,
hlm. 273.
[11] Harun Nasution, Ensiklopedi
Islam,… hlm. 618.
[12] Muhammad
Husain aż-Żahabī, at-Tafsīr wal Mufassirūn, jilid II (Kairo: Dār
al-Kutub al-Hadīṡah, 1976), hlm. 595
[13]
Siti Muslikhati, Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam
Timbangan Islam, (Jakarta: Gema Insani Pres, 2004), hlm. 20.
[14]
Ifaedah, "Gender (Perspektif Islam)", Makalah Program
Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga, Konsentrasi Studi al-Qur'an dan Hadis Program
Studi Agama dan Filsafat, 2013. Hlm. 1.
[16]
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender: Perspektif al-Quran,
cet: II, (Jakarta, Paramadina, 2001), hlm. 20.
[21] As'ad Sahmarani, al-Mar'ah fī
Tārīkh wa asy-Syarī'ah, (Beirut: Dār an-Nafāis, 1997), hlm. 126-127
[30]
Abbas Mahmud al-Aqqad, Filsafat Qur'an, Terj. Tim Pustaka
Firdaus, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986), hlm. 70.
[37]
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran: Tafsir Tematik atas
Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 2007), hlm. :42
Insaallah semua akan dimudahkan untuk setiap tindakan yang dilakukan oleh setiap kaum Wanita. Tindakan yang benar-benar sesuai dengan tuntutan Agama Islam. Dan Wanita memang benar-benar Dimuliakan di dalam Islam.
BalasHapusyah memang benar wanita telah dimuliakan oleh Islam, tugas wanita lah untuk memuliakan diri mereka dgn islam, dan tugas semua untuk membebaskan wanita dari istiadat yg merendahkan wanita.. karena itu tidak sesuai ajaran Islam
Hapus